Percaya tidak percaya, banyak ahli metafisika yang meramalkan pemerintahan Presiden Jokowi masih akan diuji dengan cobaan bencana kebakaran hutan pada tahun ini. Itu berarti, ada kemungkinan tragedi selimut asap sepanjang tahun lalu belum akan membaik pada 2016.
Selain memprediksi terjadinya gunung meletus pada tahun monyet api ini, beberapa peramal memperkirakan kebakaran hutan masih akan menjdi momok yang tak lain dipicu oleh ulah manusia, dan bukan fenomena alam.
Sekitar pertengahan tahun, bencana kebakaran kembali akan marak. Salah satunya adalah kebakaran hutan, dan penyebabnya lebih kepada human error, ramal ahli tarot dan telapak tangan Miss Vanessa Tarot.
Senada, pakar fengshui Dhanny Dharmawan memperkirakan segala sesuatu yang terkait dengan elemen api bakal menjadi sumber perkara besar pada tahun ini, termasuk kebakaran hutan yang disebabkan oleh kesalahan manusia.
Terlepas dari ramalan-ramalan memasuki 2016, tidak dapat dipungkiri Indonesia memang masih terjerat pekerjaan rumah yang belum tuntas soal tragedi kebakaran hutan. Bak lingkaran setan, isu ini akan terus disorot dan diangkat ke permukaan berulang kali.
Tahun lalu, kasus kebakaran hutan dan kabut asap memecahkan rekor terburuknya sepanjang sejarah Indonesia. Apakah tahun ini rekor tersebut akan kembali pecah ke level yang lebih memprihatinkan?
Bank Dunia mencatat kebakaran hutan yang memicu polusi udara kronis dan wabah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Indonesia merugikan negara hingga US$16 miliar pada tahun lalu.
Salah satu dari tiga institusi Bretton Woods itu memprediksi tragedi alam tersebut akan kembali terjadi pada awal tahun ini. Apalagi, gelombang panas el nino secara siklus akan menimbulkan kekeringan ekstrim, serta menunda dan memperpendek musim hujan.
Berdasarkan esai Bank Dunia perwakilan Indonesia yang berjudul Indonesias Fire and Haze Crisis, disebutkan bahwa terbakarnya hutan akan tergantung pada kondisi peat di dalam areal hutan hujan.
Peat adalah ekosistem tropis di mana tanah jenuh (saturated soil) mencegah dedaunan dan kayu agar tidak terdekomposisi seutuhnya. Dengan semakin banyaknya material organik yang terkumpul pada areal ini, kandungan airnya pun akan semakin tinggi.
Pada akhirnya, areal tersebut akan menjadi semacam spons yang menjaga kelembaban hutan. Selama areal peat tersebut tetap basah, hutan akan sulit terbakar. Sebaliknya, jika peat menjadi kering karena dimanfaatkan untuk areal agrikultur, hutan rentan terbakar.
Sekali api menyambar areal peat yang kering, akan sangat sulit untuk memadamkannya karena kedalaman dari areal tersebut. Selain itu, api dari areal peat yang kering dapat membara di bawah permukaan hutan selama berbulan-bulan, papar mereka.
Nah,api yang menjalar dan sulit dijinakkan untuk periode yang panjang membawa ekses berupa asap, yang menyebar ke negara tetangga. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia dijuluki sebagai negara pengekspor asap.
Kerugian yang harus ditanggung oleh Indonesia sendiri melebihi US$16 miliar tahun lalu, alias lebih dari dua kali lipat beban yang ditanggung negara akibat bencana Tsunami pada 2004 dan setara dengan 1,8% dari total produk domestik bruto (PDB) republik ini.
Kerusakan yang diakibatkan dari kebakaran hutan mengeroposi aspek agrikultur, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata, kesehatan, dan masih banyak lagi. Belum termasuk kerusakan langsung terhadap lahan tanaman pangan, perumahan, dan infrastruktur.
Dari sisi lingkungan hidup saja, lebih dari 2,6 juta hektare wilayah hutan dan peat terbakar pada 2015. Jika disetarakan, luas lahan yang terbakar itu lebih besar 4,5 kali luas Pulau Bali. Memang, peat yang terbakar dapat direboisasi dalam jangka panjang.
Namun, dalam jangka pendek, kerusakan akibat api melalap sumber daya perkayuan dan hancurnya habitat flora dan fauna eksotis. Meski belum ada perhitungan akurat, Bank Dunia memprediksi kerusakan biodiversitas Indonesia pada 2015 mencapai lebih dari US$295 juta.
Bagaimana dengan dampak secara global? Emisi rumah kaca harian dari Indonesia per Oktober 2015 menembus lebih dari 15,95 juta ton karbon dioksida (CO2)/hari. Padahal, pada 2030 Indonesia dikejar target untuk menekan emisi GHG sebanyak 29%.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Sepertinya memang tidak ada solusi dalam jangka pendek untuk mengatasi tragedi kebakaran hutan ini. Dibutuhkan pembaruan besar-besaran dalam manajemen kehutanan di Tanah Air yang fokus pada pencegahan kebakaran di masa depan.
Itu berarti harus ada pembaruan terhadap sistem pengamanan tanah yang selama ini lemah, serta penguatan akuntabilitas pemerintah, khususnya dalam konteks kebijakan, regulasi, dan manajemen dan sistem akses/pembukaan lahan.
Indonesia bisa belajar dari kisah sukses China, Ethiopia, dan Kolombia dalam mengembalikan dan merehabilitasi lahan hijau dan dataran tinggi yang rusak. Atau, belajar dari penanganan kebakaran hutana ala Thailand atau Afrika Selatan.
Di tengah upaya keras yang seharusnya ditempuh untuk mematahkan siklus kebakaran hutan, betapa tidak bijaksananya pihak-pihak yang menilai, kebakaran hutan itu tidak merusak lingkungan hidup, karena masih bisa ditanami lagi, yang meme-nya sedang populer saat ini.
Jadi, bagaimana kita semua akan mengantisipasi datangnya siklus api tersebut? Mudah-mudahan ramalan-ramalan soal kebakaran hutan pada 2016 dapat didengar sebagai panggilan waspada oleh seluruh pihak untuk menuntaskan PR berat pada tahun monyet api ini.