Kabar24.com, JAKARTA -- Sensus keagamaan dipandang sebagai hal perlu dilakukan untuk kepentingan penyediaan data untuk pelaksanaan kebijakan yang menyangkut aspek keagamaan.
Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS) Razali Ritonga mengatakan, pihaknya kini tengah menunggu respons dari Kementerian Agama untuk membuat payung hukum berupa nota kesepahaman (MoU) untuk melakukan survei keagamaan.
"Dari sisi teknis, BPS memang berkewajiban menyuguhkan data bagi kepentingan Kemenag. Esensinya, muara dari hasil sensus dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan bangsa," kata Razali, usai acara workshop Sensus Keagamaan di kantor Kemenag Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Workshop dibuka Kepala Pusat Informasi dan Humas Rudi Subiyantoro dan Kepala Bidang Data Sulistyowati, dihadiri para Kepala Kantor Wilayah Kemenag dan utusan dari beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam.
Menurut dia, baru sekali ini pihak Kemenag membicarakan tentang sensus keagamaan.
Padahal untuk membuat kebijakan, institusi mana pun, membutuhkan data.
Termasuk di Kemenag sendiri, seperti untuk membangun madrasah penting sekali adanya sebuah data kependudukan.
Jangan sampai terjadi, madrasah sudah terbangun lantas santrinya hanya beberapa tahun ke depan sudah tak ada lagi.
Namun ia pun menyadari bahwa untuk sensus keagamaan bukan persoalan mudah.
Pihak BPS pernah berinisiatif dengan sensus yang "nyerempet" bidang agama, yang kemudian menimbulkan masalah sensisitif di lapangan. Agama kan banyak menyangkut privasi diri seseorang dan banyak hal lainnya yang mengangkut suku, agama, antargolongan dan ras (SARA).
"Gagasan itu pernah ada, di era Orde Baru. Lantas, oleh BPS hal itu dibatalkan," ungkap Razali.
Ia berharap, dengan memasuki era reformasi dan seiring perjalanan waktu, hal semacam itu ke depan tidak akan muncul lagi.
"Zaman sudah berubah. Kita pun membutuhkan data, sebagai pengambil kebijakan. Semuanya kan untuk kesejahteraan masyarakat," ujar Razali.
Razali mengakui membangun data ternyata butuh dana besar. Namun tanpa data juga bisa berujung pada kegagalan.
Data sejatinya bisa dijadikan alat ukur kinerja dari suatu badan, instansi atau pun kementerian.
Data, lanjut dia, tidak bisa dijadikan alat negosiasi. Sebab, angka statistik yang didapat dari hasil survei merupakan gambaran keadaan sesungguhnya.
Untuk itu, jika ada seseorang bermusyawarah dengan BPS bukan berarti untuk mengubah data yang dianggap tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya.
Perbedaan yang ada antara realitas dan hasil survei petugas lapangan dari BPS, kata dia, hal itu bisa terjadi.
Pasalnya, terminologi dan konsep yang digunakan bisa berbeda.
Penegasan Razali ini sekaligus merupakan jawaban dari beberapa peserta yang menanyakan padanya perihal perbedaan data di Kanwil Kemenag dan data yang dimiliki BPS.
Terkait kebutuhan Kemenag mengenai data melalui survei keagamaan, Razali menyatakan, selain pihaknya masih menunggu adanya MoU, juga perlu adanya kelanjutan pembahasan tentang teknis untuk petugas survei lapangan.
Kapan dan bagaimana survei itu harus dilakukan. Semua harus didiskusikan secara komprehensif.
Sampai konsepnya pun harus dimatangkan. Misalnya tentang rumah ibadah, ketentuan dan definisinya bagaimana. Masjid dan mushola apa bedanya, konsepnya apa. Jika sudah dilakukan survei, pegolahan data pun butuh proses dan waktu.
Survei, menurut dia, harus diperbarui dalam beberapa tahun ke depan. Karena itu, BPS pun selalu melakukan survei dalam periode tertentu. Misalnya untuk sensus penduduk, dilakukan 10 tahun sekali.