Kabar24.com, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk oleh Setya Novanto untuk memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia bisa dibawa ke ranah hukum.
"Dapat dikenakan pasal 378 KUHP soal penggunaan identitas palsu untuk mendapatkan sesuatu. Hal tersebut bisa dibawa ke Bareskrim untuk ditindaklanjuti," ujar koordinator divisi kampanye dan publikasi ICW, Tama Langkun saat dihubungi via telepon, Rabu (18/11/2015).
Sejauh ini, menurut Tama, Komisi Pemberantasan Korupsi harusnya bisa bergerak untuk upaya penyelamatan pendapatan negara yang lebih besar. Sekitar 25% pendapatan negara berasal dari tambang dan migas. Freeport memberikan kontribusi yang cukup besar untuk pendapatan negara.
Tama menambahkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh tinggal diam. Jika ditemukan adanya unsur paksaan dalam perjanjian tersebut, maka kasus tersebut dapat ditindak dengan menggunakan undang-undang tindak pidana korupsi pasal 12 huruf e dimana ada unsur penyelenggara negara yang memaksa suatu pihak untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan penyelenggara negara tersebut.
Unsur paksaan ini yang harus dapat dibuktikan dengan dua pendekatan yaitu paksaan fisik dan paksaan psikis. Dalam kasus pencatutan ini, Tama menilai tidak ada unsur paksaan secara fisik yang terjadi. Namun, harus diselidiki unsur paksaan secara psikis misalnya jika pencabutan ijin jika tidak memberikan apa yang diminta.
Saat ini memang diperlukan untuk mengevaluasi keberadaan PT Freeport Indonesia. "Bingkainya adalah penyelamatan yang lebih luas. Sekitar 25% dari tambang dan migas. Dan memang Freeport yang terbesar. Yang masuk ke negara Rp4-5 triliun. Jangan sampai kita menjadi rugi," tambah Tama.