Bisnis.com, JAKARTA — Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan menjatuhkan sanksi berupa teguran kepada terlapor Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan keduanya.
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat mengatakan sanksi teguran itu dicapai sesuai dengan hasil mufakat dalam sidang MKD, Senin (19/10/2015).
“Dasarnya adalah pernyatan ‘Yes, higly’ kepada Trump,” katanya di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan.
Seperti diketahui, pernyataan tersebut diungkap Setya dan Fadli saat bertemu dengan pebisnis sekaligus kandidat calon Presiden AS Donald Trump yang difasilitasi oleh Hary Tanoesoedibjo, bos MNC Group sekaligus pendiri Partai Perindo. “Pilihan katanya kurang tepat.”
Pemberian teguran itu, diberikan setelah Setya dan Fadli mangkir sebanyak tiga kali dalam panggilan sidang. Pertama, Setya dan Fadli mangkir dalam agenda sidang MKD pada Kamis (17/9) dan yang kedua, mereka mangkir dalam panggilan sidang Senin (12/10). Adapun yang ketiga, mereka tidak hadir karena harus menghadiri sidang parlemen dunia di swiss pada Senin (19/10).
Dalam sidang itu, sidang MKD juga memutus kasus pernyataan ‘rada-rada bloon’ yang diungkap oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah saat sedang live di sebuah stasiun televisi.
Keputusan itu lengkap dengan peringatan agar fahri berhati-hati dalam berbicara, khususnya di media massa. “Kami minta Fahri tidak mengulanginya lagi,” kata Surahman yang berafiliasi dengan Fraksi PKS.
Khusus soal teguran untuk Setya dan Fadli, pimpinan MKD terindikasi tidak serius menangani kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan terlapor Setya dan Fadli.
Pernyataan itu muncul dari internal MKD sendiri menyusul tidak adanya respons dari pimpinan MKD atas mangkirnya dua pimpinan DPR dalam setiap undangan sidang. Syarifuddin Sudding, anggota MKD dari fraksi Partai Hanura, mengatakan MKD terindikasi sudah tidak serius menangani kasus ini.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua MKD dari Fraksi PDIP Junimart Girsang beranggapan MKD bisa menggelar pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran pihak terlapor. “MKD tidak perlu kehadiran. Kami tetap bisa menggelar sidang. Namun untuk putusan in absentia masih dibutuhkan pemeriksaan lanjutan beberapa dokumen,” katanya.
Sebelumnya, dalam pemeriksaan berkas, MKD menemukan adanya sejumlah kejanggalan dalam dokumen perjalanan rombongan pimpinan DPR tersebut. Kejanggalan tersebut antara lain ada pada jumlah rombongan, biaya perjalanan, serta lama tinggal di AS.
Dalam dokumen tersebut, ada penambahan jumlah rombongan dari tujuh orang unsur pimpinan menjadi 20 orang. Penambahan jumlah rombongan itu termasuk sekretaris pribadi dan staf khusus anggota DPR.
Selain itu, lama tinggal rombongan berubah dari 29 Agustus-4 September 2015 menjadi 29 Agustus-12 September 2015. Pada 4 September, mereka dijadwalkan sampai di Tanah Air. Tapi mereka memperpanjang waktu hingga 12 September 2015.