Bisnis.com, JAKARTA — Fraksi PDIP mengaku inisiator pengubahan nama RUU Pengampunan Nasional menjadi RUU Pengampunan Pajak berasal dari internal fraksi tersebut.
Hendrawan Supratikno, anggota Fraksi PDIP yang juga merupakan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR meski pengubahan nama itu diawali pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kritiyanto, inisiasi pengubahan nama itu bukan perintah DPP PDIP.
“Partai tidak berwenang memutuskan. Jadi pengubahan itu murni keputusan fraksi,” katanya di Kompleks Gedung Parlemen, Jumat (9/10/2015) malam.
Pengubahan nama RUU tersebut, lantaran banyaknya desakan publik yang tidak menginginkan adanya pengampunan terhadap pelaku tindak pidana, termasuk koruptor dan pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU). “Desakan itu kami terima dan kami akan mengubajnya pekan depan.”
Awalnya, RUU yang diusulkan oleh 33 anggota dewan dari Fraksi PDIP, PKB, PPP, Partai Golkar itu merupakan salah satu instrumen kebijakan yang bisa diberikan oleh pemerintah untuk mendorong rekonsiliasi nasional serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
RUU itu disodorkan menyusul kuatnya dugaan bahwa para pelaku kejahatan cenderung membawa lari hasil tindak pidana ke luar negeri sebagai bentuk pencucian uang yang diduga berjumlah Rp3.000 triliun.
Pengusul juga menguatkan dalih munculnya beleid pengampunan nasional dengan mengacu instrumen pengampunan pajak yang telah dilaksanakan pada 1964. Pengampunan itu mempertimbangkan ketentuan fiskal tidak membeda-bedakan asal usulnya, halal atau hasil korupsi.
Sesuai dengan draf RUU per 1 Oktober 2015 yang sudah dibahas di Baleg DPR, subjek pengampunan nasional diberikan atas seluruh harta yang dilaporkan dalam Surat Permohonan Pengampunan Nasional, baik yang berada di dalam wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia.
Adapun objeknya, sangat beragam. Termasuk pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau yang dikenal sebagai extraordinary crime, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia. Contohnya koruptor, pengemplang pajak, hingga pelaku TPPU.
Jadi, hanya dengan membayar sejumlah uang tebusan dengan kisaran 3%-8% dari total harta yang dilaporkan, pelaku tindak pidana yang tidak dalam penanganan kasus oleh penegak hukum, bisa mengajukan pemutihan harta kekayaan hasil korupsi.