Bisnis.com, JAKARTA - Sheraton Group membantah seluruh eksepsi yang diajukan oleh PT Graha Tunas Mekar dalam perkara pembatalan pendaftaran merek di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dalam berkas yang diterima Bisnis, kuasa hukum Sheraton Group dari Suryomurcito & Co menyatakan dalil yang digunakan tergugat dalam eksepsinya keliru dan mengelabui majelis hakim.
“Tergugat dengan sengaja tidak mengutip isi ketentuan pasal secara keseluruhan,” ungkap penggugat dalam berkas kesimpulannya yang dikutip Jumat (2/10/2015).
Sebelumnya, tergugat mengajukan eksepsi kompetensi relatif. Graha Tunas Mekar melalui kuasa hukumnya Utama Wijaya mengatakan para penggugat bukanlah pihak yang berkepentingan dalam mengajukan gugatan merek. Hal itu merujuk pada pada 68 Undang-undang Merek.
Pasal tersebut memberikan perincian tentang pihak seperti apa yang dapat mengajukan gugatan pembatalan merek. Namun dalam eksepsinya, tergugat hanya mendasarkan dalilnya pada ayat 1 pasal tersebut.
“Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain; jaksa, yayasan atau lembaga di bidang konsumen, dan majelis atau lembaga keagamaan,” tulis tergugat.
Menurut penggugat, jika tergugat mengutip pasal tersebut secara keseluruhan, justru menegaskan kepentingan dari penggugat. Pasal 68 UU Merek memiliki empat ayat. Dalam ayat 2 tertulis bahwa pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal.
Dalam eksepsinya yang lain, tergugat menyatakan gugatan yang diajukan telah melewati jangka waktu pembatalan merek, yakni lima tahun.
Penggugat menilai bahwa tergugat berupaya mengelabui majelis dengan meniadakan ketentuan pasal 69 ayat 2 UU Merek. Pasal tersebut menyatakan bahwa gugatan pembatalan merek dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek tersebut diajukan dengan iktikad tidak baik.
Guna mendukung tuduhan iktikad tidak baik itu, penggugat mengajukan bukti berupa surat elektronik dari Direktur Operasional PT Graha Tunas Mekar Roger Wehrsig. Surat yang dikirim pada 14 Maret 2008 itu berisi pernyataan setuju untuk menghentikan penggunaan kata ‘Regis’.
Roger yang menyatakan mewakili perusahaan juga meminta maaf karena tidak memenuhi batas waktu yang ditentukan dan disetujui sebelumnya.
Lalu, pada 28 Maret 2008 tergugat mengajukan permohonan pendaftaran merek REGIS @the Peak at Sudirman. “Itu hanya 14 hari setelah tergugat mengajukan permintaan maaf,” ujar penggugat.
Sengketa merek ini melibatkan Sheraton International LLC, Sheraton International IP lLC, dan Starwood Hotels & Resort Worldwide Inc yang tercatar sebagai para penggugat. Mereka mengklaim sebagai pemilik merek St. Regis. Adapun, terguat dalam perkara ini adalam pemilik merek Regis @ the Peak at Sudirman No. IDM000249855.
Menurut para penggugat, kata regis merupakan elemen yang sangat menonjol dibandingkan dengan elemen lain karena ditempatkan di depan. Secara alami, kata pertama akan melekat di ingatan seseorang yang melihat merek tersebut.
Merek tergugat juga dinilai tidak memiliki daya pembeda. Kata lain seperti ‘peak’ hanya berarti puncak dan Sudirman mengacu pada pusat daerah bisnis di Jakarta.
Dia menuturkan kedua merek juga memiliki persamaan cara pengucapan pada kata Regis serta kelas yang menentukan jenis jasa. Kesamaan dalam bidang usaha memberikan kesempatan tergugat untuk membonceng keterkenalan merek penggugat.
St. Regis telah memiliki sejarah untuk pengelolaan hotel mewah dan akomodasi resor selama lebih dari 100 tahun. Di Indonesia, merek tersebut sudah terdaftar atas nama para penggugat.
Hotel yang dikelola para penggugat telah terakreditasi dengan bintang enam dan telah menerima berbagai pengakuan dan penghargaan dari survei dan publikasi industri perhotelan. Merek St. Regis telah terdaftar pada 80 negara termasuk Indonesia untuk kelas 43 dan 36.
Persidangan perkara No. 29/Pdt.Sus/Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst tersebut telah sampai pada kesimpulan. Sayangnya, divisi hukum dari pihak tergugat Utama Wijaya tidak pernah mau memberikan keterangan kepada wartawan.