Bisnis.com, JAKARTA - Tingginya angka ketimpangan di berbagai negara mendapat sorotan masyarakat internasional jelang adopsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDG) 2030 di New York.
Lembaga Oxfam Internasional mencatat terjadi pemusatan kekayaan di dunia. Kelompok orang kaya yang berjumlah 1% dari sekitar 8,5 miliar jumlah penduduk dunia menguasai 50% sumber daya alam.
Tingginya angka ketimpangan ini mendapat perhatian besar dalam diskusi di luar agenda utama Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bertema Goal 10 SDGs Reducing Inequality: Desirable but is it Feasible?.
Diskusi ini diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan lembaga masyarakat sipil internasional di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) pada Dewan Pewakilan Bangsa-Bangsa di New York, 24 September lalu waktu New York.
Diskusi ini menghadirkan 11 pembicara dan dihadiri lebih dari 60 orang dari perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil internasional dari berbagai negara. PBB akan mengadopsi SDG yang terdiri dari 17 target dan 169 sasaran dalam sidang ke-70 yang berlangsung 25-27 September.
Direktur INFID Indonesia Sugeng Bahagiyo dalam pemaparannya mengatakan meski jumlah penduduk sangat miskin berkurang, tapi ketimpangan masih tinggi karena ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi.
“Pendapatan masyarakat sangat miskin tumbuh tapi tidak tidak cukup besar,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, Sabtu (26/9/2015).
Bentuk ketimpangan ini juga tampak dalam angka harapan hidup. Di Indonesia, angka harapan hidup orang kaya hingga 70,8 tahun, sedangkan orang miskin hanya 53 tahun, atau berbeda 16 tahun. Sementara di Afrika Selatan, perbedaan angka harapan hidup 19 tahun, India 21 tahun, dan Brasil hampir 26 tahun.
Amitha Behar dari Wada Na Todo Abhiyan, organsisasi yang konsen pada masalah kemiskinan di India, mengatakan penyebab ketimpangan juga dipicu penyediaan layanan dasar masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan hajat hidup masyarakat, yang seharusnya dikelola negara, diserahkan pada pihak swasta.
“Kondisi kesehatan masyarakat di India mengkhawatirkan karena layanan kesehatan telah diprivatisasi,” katanya.
Sementara itu, Gonzalo Berron dari Brazilian Network for Peoples Integration Representative (REPBRIP), berpendapat kondisi ini juga terjadi karena perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) yang tidak menguntungkan bagi negara yang tidak memiliki sumber daya alam dan manusia memadai.
Deborah S. Rogers, Direktur Initiative for Equality (Amerika) dan peneliti dari Universitas Standford Amerika Serikat, menduga ketimpangan adalah masalah sistemik yang sengaja diciptakan penguasa ekonomi.
Padahal, kata dia, pertumbuhan ekonomi seharusnya mendekatkan pendapatan negara miskin ke negara kaya. “Tapi tidak demikian karena negara kaya sangat mempengaruhi kondisi ekonomi,” katanya.
Mengatasi ketimpangan antarnegara membutuhkan usaha dan kerja sama kuat dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor bisnis agar salah satu tujuan SDGs dalam mengurangi ketimpangan bisa tercapai pada 2030.