Kabar24.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo diminta untuk tidak menggunakan hak subyektif dalam mengeluarkan izin pemeriksaan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Pernyataan tersebut muncul dari sejumlah pakar hukum dan tata negara setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengalihkan kewenangan pemberian izin pemeriksaan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam UU No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Presiden.
Refly Harun, pakar hukum dan tata negara dari Universitas Andalas Padang, menilai pengalihan wewenang pemberian izin dari MKD kepada Presiden tersebut belum membawa perubahan yang signifikan untuk pemeriksaan anggota DPR yang diduga terlibat tindak pidana.
“Secara teoritis, putusan MK tersebut membuktikan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan,” katanya saat dihubungi, Selasa (22/9/2015).
Dalam konteks itu, kata Refly, publik sangat berharap Presiden mampu bersikap adil dan tidak tebang pilih saat menjadi penentu izin kelanjutan proses hukum untuk anggota dewan.
“Dalam hal ini, Presiden harus cepat mengeluarkan izin dan tetap obyektif,” katanya.
Terlebih, jelasnya, pemberian izin untuk pengungkapan kasus yang masuk dalam extraordinary crime atau kejahatan tingkat tinggi seperti korupsi, penyalahgunaan obat terlarang, serta tindak pidana lain.
Jika tidak cepat mengeluarkan izin, publik akan menuding bahwa Presiden sedang memainkan hak subyektivitasnya untuk melindungi anggota DPR dari jeratan tindak pidana.
“Situasi itu sangat mungkin terjadi mengingat Presiden juga orang partai,” ujar Refly.
Siti Zuhro, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan putusan tersebut sekaligus mengamanatkan agar Presiden tidak tunduk kepada partai politik pendukungnya.
Seperti diketahui, dalam Pilpres 2014, Presiden Jokowi didukung oleh PDIP, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PKB.
Dalam pengalihan kewenangan pemberian izin pemeriksaan tersebut, Presiden harus mampu memberikan kepercayaan kepada para anggota DPR sekaligus publik.
“Presiden tidak boleh tebang pilih dalam memberikan izin pemeriksaan,” tegas Siti.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Fraksi PPP DPR Syaifullah Tamliha mengaku menerima putusan MK yang memangkas kewenangan MKD dalam memberikan izin pemeriksaan.
“Kalau kami menerima saja. Ini berbicara kedaulatan hukum. Masalah hukum ya selesaikan secara hukum. Kami juga tidak merasa terancam,” katanya.
Dalam salinan putusan MK, Hakim MK Wahiduddin Adams, menilai putusan itu bukan merupakan suatu yang baru.
Hakim memutuskan dengan acuan pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.