Bisnis.com, JAKARTA -- Angka partisipasi sekolah di desa maupun daerah pedalaman masih tergolong rendah. Hal ini bukan hanya disebabkan faktor kemiskinan, juga kendala bahasa, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai.
Lead Advisor on Regional Programs and Basic Education ACDP Indonesia, Basilius Bongeteku, mengatakan sebagian besar penduduk asli di Papua dan Papua Barat adalah penutur tunggal bahasa ibu yang tinggal di desa-desa terpencil.
Di pedesaan dan daerah terpencil di Papua, hanya 77% dari anak usia sekolah yang mendaftar Sekolah Dasar (SD) dan hanya 27% mendaftarkan diri di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Ini bukan membuktikan anak Papua malas belajar, tapi karena mereka takut ke sekolah karena tidak memahami bahasa Indonesia yang digunakan di sekolah," paparnya di kantor Kementerian Pendidikan dan Budaya, Selasa (1/9/2015).
Selain itu, kata Basilius, di daerah-daera terpencil, lokasi sekolah yang jauh dan terbatasnya sarana transportasi sering memaksa anak untuk meninggalkan pendidikan formal.
Alasan lain putus sekolah adalah ketidakhadiran guru, rendahnya kualitas pelayanan dan fasilitas pendidikan, kemiskinan serta kebutuhan anak-anak untuk berkontribusi terhadap pendapatan keluaga.
"Karena faktor-faktor itulah anak jadi lebih memilih membantu orangtua mencari nafkah dibandingkan mengenyam pendidikan formal," tuturnya.
Signifikan
Menurutnya, Bantuan Dana Operasional Sekolah (BOS) telah memberi kontribusi signifikan terhadap peningkatan akses pendidikan, dan memastikan bahwa sekolah, terutama masyarakat di daerah terpencil dan miskin memiliki anggaran operasional, seringkali untuk pertama kalinya.
"Tapi BOS saja masih tidak cukup untuk daerah pedesaan dan terpencil seperti Maluku dan Papua yang dimana biayanya lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia," ungkapnya.
Untuk itu, pemerintah perlu mengkaji alokasi BOS dengan tujuan meningkatkan kepekaan untuk kapasitas pendapatan yang bervariasi dan biaya yang lebih besar dari sekolah sesuai dengan lokasi, ukuran, siswa sekolah tersebut yang beraneka ragam.
"Selain pemerintah, pihak sekolah juga harus meningkatkan fleksibilitas jadwal sekolah di daerah terpencil, untuk memastikan waktu belajar sekolah tidak bertabrakan dengan kalender pertanian. Tak bisa disamakan dengan sekolah di kota. Karena mereka harus bantu orangtua bertani," katanya.
Pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap efektivitas berbagai program yang menghubungkan masyarakat daerah terpencil, sekolah-sekolah dan pusat pembelajaran dengan grid komunikasi yang modern, baik itu telekomunikasi atau internet.
"Teknologi ini berpotensi memiliki peran penting dalam penyampaian layanan dan peningkatan kualitas di semua jenjang pendidikan," pungkasnya.