Kabar24.com, JAKARTA -- Seperti sudah tahu bahwa pernyataannya soal KPK bakal menjadi bahan pergunjingan, Ketua Umum PDI Perjuangan menyatakan kemungkinan dirinya bakal di-bully di dunia maya.
“Saya bakal di-bully di media sosial,” kata Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Kebangsaan, di Kompleks Gedung Parlemen, Selasa (18/8/2015).
Ungkapan Mega tersebut sebagai konsekuensi logis dari pertanyaan: sampai kapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal terus ada di Indonesia?
Menurut Mega, KPK sebagai lembaga ad hoc—lembaga sementara yang dibentuk dengan tujuan tertentu—itu bakal tetap berdiri selama korupsi ada.
Dengan kata lain, KPK yang notabene lembaga ad hoc bisa dibubarkan jika korupsi sudah tidak ada lagi di Indonesia. Selanjutnya, silakan baca PDIP: Pernyataan Mega Bukan Berkeinginan Bubarkan KPK.
Ya, KPK memang dibentuk dengan tujuan tertentu untuk menguatkan sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air.
Jika diingat, saat menjadi Presiden pada periode 2001-2004, Mega menguatkan keberadaan lembaga ad hoc tersebut melalui UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sejak beleid itu terbit, KPK mulai menjalankan fungsinya dengan berdampingan bersama lembaga penegak hukum lain, seperti Kejaksaan dan Kepolisian.
Dalam beleid itu, KPK memang dibekali "sedikit" kelebihan jika dibandingkan dengan lembaga lainnya.
Kelebihan itu ada pada tugas dan kewenangan memberikan supervisi pada penanganan kasus korupsi yang ditangani institusi lain.
Tugas dan wewenang lainnya yang harus diemban KPK, memang relatif sama dengan dua institusi yang lebih dulu berdiri dan mengakar di daerah itu.
Sesuai UU KPK, tugas dan wewenang KPK antara lain mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait.
Selain itu, KPK juga harus melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Singgungan
Dengan segala kelebihan tugas dan kewenangan KPK, singgungan antarlembaga penegak hukum pun tak bisa dielakkan. Tak lain seperti kisah Cicak Melawan Buaya—KPK melawan Polri—yang selalu hanya menjadi perhatian publik.
Belum lagi, kucuran dana yang sangat melimpah untuk KPK pun ikut memantik kecemburuan antarlembaga penegak hukum.
"Hanya" untuk memberantas dan mencegah korupsi, KPK digelontor dana Rp898,91 miliar. Dan pada 2016, KPK mengajukan anggaran sebesar Rp901,1 miliar.
Singgungan itu kian runcing saat KPK terbukti lebih mampu daripada Kejaksaan dan Polri menunjukkan kepada publik bahwa korupsi sudah menjadi penyakit yang kronis.
Sebagai bukti, di tingkat kabupaten, baru-baru ini KPK melakukan operasi tangkap tangan kasus korupsi di Kabupaten Musi Banyuasin yang diduga melibatkan anggota DPRD, kepala dinas, dan bupati setempat.
Di tingkat Provinsi, KPK telah menyematkan status tersangka kepada Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho dan istri mudanya Evi Susanti yang diduga menyuap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan.
Di tingkat nasional kiprah besar KPK terbukti saat menangkap Aulia Pohan, besan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 karena terlibat kasus aliran dana Bank Indonesia. Selain itu, pengungkapan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan.
Singgungan antarlembaga penegak hukum pun kian meruncing saat KPK membuat berang kepolisian.
Pada awal 2015, KPK menetapkan Wakalpolri Komjen Pol Budi Gunawan—yang saat itu diajukan menjadi Kapolri—sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi.
Kinerja KPK pun memunculkan efek keseragaman tentang pemahaman pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air.
Namun, meski cara pandang publik tentang pemberantasan dan pencegahan korupsi sudah terbentuk setelah KPK eksis berdiri selama 13 tahun, secara mengejutkan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa Indonesia masih jauh dari bebas korupsi.
Data ICW mengungkap sebanyak 230 orang yang didakwa pengadilan melakukan tindak pidana korupsi pada semester I/ 2015.
Sebanyak 104 di antaranya merupakan pegawai negeri sipil, 73 dari swasta, sembilan merupakan anggota DPR dan DPRD, dan satu sisanya jaksa.
Jadi, selama korupsi ada, bukankan KPK pun masih tetap harus ada? Kita tunggu saja.