Kabar24.com, JAKARTA — Setelah beberapa kali bertemu dengan kedua kubu, Jusuf Kalla meminta agar Ketua Umum Golkar—Agung hasil Munas Jakarta dan Ical hasil Munas Bali—mengakhiri perseteruan untuk menyelamatkan Golkar.
Permintaan itu bukan tanpa alasan. Situasinya, KPU sebagai penyelenggara Pilkada sudah mengancam Golkar tidak boleh ikut Pilkada jika masih berseteru.
Tampak ada keinginan kuat dari Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI sekaligus politisi senior Partai Golkar, untuk mendamaikan kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie (Ical) yang berseteru masalah kepengurusan tersebut.
Secara tegas, JK yang pernah menjadi Ketua Umum Golkar periode 2004—2009 itu meminta kepada kubu Agung dan Ical untuk bersama-sama mementingkan kepentingan Golkar ke depan melalui a.l. pembentukan tim bersama untuk proses penjaringan calon kepala daerah di Pilkada.
Kedua kubu langsung merespons instruksi pertemuan itu meski keduanya masih saja meributkan acuan yang digunakan untuk islah. Kubu Agung minta SK menkumham No. M.HH-01.AH.11.01/2015 tentang Pengesahan Perubahan AD/RT serta Komposisi dan Personalia DPP Partai Golkar yang dipakai sebagai acuan islah.
Namun kubu Ical, meminta SK tersbut tidak dijadikan sebagai acuan karena telah dibatalkan oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun kabar terakhir dari pertemuan islah di kediaman JK pada Sabtu (23/5), disebutkan bahwa ada kesepakatan tentang proses islah serta persiapan Golkar menghadapi Pilkada serentak yang jika tidak ada aral melintang akan digelar pada 9 Desember 2015.
Dalam kesempatan itu, meski belum terungkap kepengurusan Agung atau Ical yang berhak memberikan rekomendasi kepada bakal calon kepala daerah, namun JK meminta Golkar tetap bersatu.
Menurut JK, hal yang paling mendesak saat ini adalah menyelamatkan Golkar yang terancam tak bisa menjadi peserta Pilkada. Belum lagi, KPU telah memberikan batas akhir pendaftaran calon Pilkada untuk 269 Pilkada serentak gelombang pertama di Tanah Air pada 28 Juli 2015.
Mungkin jalan damai Golkar masih terbilang sulit karena JK harus mengakomodasi ambisi Ical dan Agung yang masih sama-sama ingin menjadi Ketua Umum.
Maklum, Ical butuh kendaraan politik setelah gagal menjadi menjadi aktor utama dalam Pilpres 2014 setelah tidak memperoleh tiket maju menjadi calon presiden.
Sedangkan Agung yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejakteraan Rakyat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perlu memimpin partai politik sekaliber Golkar untuk ikut menentukan kebijakan pemerintah.
“Jika masih sama-sama ngotot, ya susah. Namun yang harus diingat, Golkar tetap menghadapi ancaman tidak bisa ikut Pilkada,” kata Phillips Vermonte, Kepala Departemen Politik Dan Hubungan Internasional CSIS.
Jika JK gagal melerai perseteruan elit Golkar yang hingga saat ini masih terbelah menjadi dua, Golkar menghadapi ancaman kehilangan magnet elektoral pada Pileg dan Pilpres 2019.
Belum lagi, ancaman pecahnya Golkar seperti periode yang lalu. Golkar bisa saja membelah diri menjadi Partai Nasdem yang dimotori oleh Surya Paloh saat dikalahkan Ical dalam Munas Riau 2009 atau pun Partai Hanura yang dikomandoi oleh Wiranto.
Siti Zuhro, peneliti politik dari Lembaga lmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun mengingatkan JK harus bijak mengambil sikap atas perseteruan ini. Jangan sampai, golkar pecah lagi setelah keluar putusan inkracht.”
Terlepas dari ancaman dan rintangan mendamaikan Golkar, tidak ada salahnya publik mempercayakannya kepada JK. Pasalnya, kapabilitas JK menjadi juru damai berbagai konflik sudah menyeruak hingga dunia internasional.
Bagaimana tidak, perjanjian Malino I dan Malino II sudah membuktikan bahwa JK turut meletakkan kerangka perdamaian pada konflik Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, Maluku.
Dalam mengakhiri konflik Aceh, JK mewakili Indonesia dalam meresolusi pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro.
Pelan tapi pasti, JK mampu menyelesaikan gencatan senjata yang mahfum terjadi antara Indonesia dengan GAM. Padahal, banyak pihak beranggapan konflik-konflik itu sudah hampir muskil diselesaikan.
Belum lagi JK ambil gagasan untuk mendamaikan konflik Rohingya di Myanmar serta ambil bagian untuk melerai konflik antara DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau yang akrab disapa Ahok.
Mampukah Sang Juru Damai mendamaikan Partai Golkar yang bahkan pernah dipimpinnya?