2. Kebohongan yang Meninggalkan Jejak Digital
Balasan Axact terhadap permintaan wawancara The Times yang disampaikan beberapa pekan sebelumnya, dan daftar pertanyaan detail yang disampaikan kepada petinggi perusahaan itu pada Kamis (14/5/2015), justru sebuah surat dari para pengacara perusahaan kepada New York Times pada Sabtu (16/5/2015).
Dalam surat tersebut, tercantum penyangkalan terselubung dari pihak perusahaan serta tuduhan kepada seorang jurnalis Times yang menyatakan “[Times] mendatangi klien [Axact] dengan berita setengah matang serta teori konspirasi.”
Dalam sebuah wawancara pada November 2013 tentang industri media Pakistan, pendiri dan bos Axact Shoaib Ahmed Shaikh menggambarkan Axact sebagai "perusahaan IT dan jasa jaringan" yang melayani usaha kecil dan menengah.
“Setiap hari kami membuat ribuan proyek. Ada daftar klien yang panjang, " katanya, tetapi dia menolak menyebutkan nama-nama klien tersebut.
Cerita dari para mantan karyawan tadi didukung oleh catatan internal perusahaan serta dokumen pengadilan yang dipelajari oleh The New York Times.
The Times juga menganalisis lebih dari 370 situs – tak hanya situs-situs sekolah, tetapi juga aspek pendukungnya seperti mesin pencarian online, badan akreditasi palsu, agen perekrutan, sekolah bahasa bahkan sebuah firma hukum - yang semuanya telah meninggalkan jejak digital Axact di dunia maya.
Dalam dunia akademis, menjamurnya gelar sarjana berbasis Internet telah menimbulkan kekhawatiran tentang adanya kemungkinan terjadinya kejahatan imigrasi, dan adanya bahaya dari aspek keselamatan publik serta sistem hukum.
Pada 2007, misalnya, pengadilan Inggris memenjarakan Gene Morrison, seorang kriminolog polisi palsu yang mengaku telah mengantongi ijasah dari Universitas Rochville milik Axact.