Kabar24.com, JAKARTA -- Sekitar 500 lebih personel gabungan kepolisan daerah Jambi diduga mengusir paksa warga Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Bungku, Dusun Johor, Jambi pada Sabtu (9/5/2015).
Pengusiran dilakukan oleh aparat dari Polda— Brimob bersenjata lengkap, Polres Batanghari, dan Polsek Bajubang dengan dukungan puluhan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Satuan Polisi Pamong Praja dan aparat keamanan perusahaan. Mereka juga membawa mobil meriam air saat melakukan pengusiran.
Salah satu pemimpin SAD, Abun Yani, mengatakan pengusiran itu dilakukan pada 9 Mei terhadap warga SAD pada pukul 13.00-17.00. Menurutnya, mereka pun tak diperkenankan berdialog ketika aparat kepolisian meminta mereka meninggalkan lokasi itu.
"Tak diperkenankan tanya jawab," kata Abun ketika dikonfirmasi Bisnis.com pada Senin (11/5/2015).
"Kami ditakut-takuti. Warga SAD sebagian besar saat itu adalah ibu-ibu, mereka takut melihat polisi," ujarnya.
Dia menuturkan warga SAD yang saat itu lebih banyak didominasi perempuan, beserta anaknya, akhirnya meninggalkan lokasi.
Mereka sempat tinggal di pinggir jalan besar yang berdekatan dengan Parit Gajah—yang akhirnya kembali pindah ke lokasi yang berdekatan dengan sungai.
Abun mempertanyakan mengapa polisi mau mengamankan perkebunan milik perusahaan, namun mengusir warga SAD yang tinggal di sana.
Dia mengharapkan agar pihaknya bisa kembali mendiskusikan masalah konflik lahan tersebut sehingga masalah itu tak berlarut-larut.
BERSIFAT IMBAUAN
Kepala Desa Bungku Utut Adianto mengatakan pengusiran itu dilakukan berdasarkan surat imbauan yang dikirimkan oleh PT Asiatic Persada pada 7 Mei.
Surat itu ditandatangani General Manager perusahaan, Salawaddin, yang ditembuskan ke sejumlah pihak di antaranya Tim Terpadu—tim yang menangani konflik agraria tersebut, Kapolda Jambi, Danrem Jambi, dan Kapolres Batanghari.
Utut mengatakan penggusuran itu mengakibatkan warga SAD tinggal berpencar-pencar.
Dia mengungkapkan seharunya pemerintah dapat mengembalikan lahan seluas 3.550 hektare. dengan kesepakatan 2013 dengan mediasi Komnas HAM—kepada warga SAD.
“Seharusnya lahan itu 3.550 hektare itu dikembalikan kepada masyarakat,” demikian Utut yang dihubungi hari ini.
Konflik SAD bermula pada 1980-an, namun hingga kini belum terselesaikan dengan baik.
Perusahaan sawit yang diduga terlibat, PT Asiatic Persada—awalnya dimiliki Wilmar International, namun dibeli oleh Ganda Group—juga menggunakan kekerasan dan penggusuran terhadap para petani dan warga SAD hingga kini.
Akibatnya, banyak warga yang kehilangan mata pencahariannya dan tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka.
Indonesia diketahui sebagai produsen terbesar global untuk memproduksi minyak sawit mentah dan didominasi untuk komoditas ekspor.
Di sisi lain, mediasi melalui Komnas HAM pada Juli 2012 menyatakan semua pihak yang terlibat setuju adanya pengukuran terhadap lahan seluas 3.550 hektare.
Inilah lahan yang diminta untuk dikeluarkan dari konsesi PT Asiatic Persada.
Gubernur Jambi pun telah menginstruksikan agar perusahaan mematuhi kesepakatan tersebut.