Bisnis.com, JAKARTA--Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika merupakan hak yang diatur Undang-Undang, tetapi didiskriminasi lewat Peraturan Pemerintah.
Yasonna menuturkan dalam Pasal 14 Undang-Undang No.12/1995 tentang Pemasyarakatan, seorang narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi. Namun, hak tersebut didiskriminasi pemerintah melalui PP No.99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 34A PP tersebut, remisi diberikan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika. Khusus bagi napi kasus terorisme, remisi diberikan jika sudah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
"PP yang ada belakangan ini menimbulkan diskriminasi, termasuk teroris yang harus dapat persetujuan dari BNPT. Itu kita kaji supaya tidak ada PP yang bertentangan dengan UU dan hal-hal yang bersifat diskriminatif," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (13/3/2015).
Filosofi penahanan narapidana di Indonesia, imbuhnya, tidak langgi menggunakan filosofi pembalasan dan pencegahan, tetapi filosofi koreksi atau pembinaan.
Yasonna mengajak berbagai elemen terkait, seperti KPK, ICW, dan pakar hukum pidana mengkaji limitasi atau variabel tambahan untuk memperketat pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana luar biasa, seperti bandar narkoba, teroris, dan koruptor, yang tidak bertentangan dengan aturan UU.
"Jangan lekatkan pada lembaga lain karenaa proses pidana polisi menyidik, jaksa menuntut, pengadilan memutuskan. Selebihnya setelah pengadilan memutuskan, urusan berikutnya adalah pembinaan, urusan kami. Tak boleh dilekatkan dengan lembaga lain, nanti diskriminatif," paparnya.