Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PROSPEK PKPU Dhiva Inter Sarana dan Richard Setiawan Banyak Masalah

Upaya restrukturisasi utang PT Dhiva Inter Sarana dan Richard Setiawan semakin sulit karena terganjal sejumlah permasalahan.
Lokasi pabrik DIS dan DSM menempati lahan yang sama di Batam. /CASADEI
Lokasi pabrik DIS dan DSM menempati lahan yang sama di Batam. /CASADEI

Bisnis.com, JAKARTA - Upaya restrukturisasi utang PT Dhiva Inter Sarana dan Richard Setiawan semakin sulit karena terganjal sejumlah permasalahan.

Salah satu pengurus PT Dhiva Inter Sarana (DIS) dan Richard Setiawan (RS) Andri K. Hidayat mengaku tidak bisa memasuki pabrik debitur di Batam karena diblokir oleh para pihak yang mengaku buruh. Kunjungan tersebut merupakan upaya pengurus dalam menginventarisasi seluruh aset debitur.

"Pekerja DSM [PT Dhiva Sarana Metal] melarang kami masuk sebelum tuntutan mereka kepada direksi atas pembayaran Rp1,4 miliar dipenuhi," kata Andri dalam rapat kreditur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Kamis (26/2/2015).

Dia menambahkan lokasi pabrik DIS dan DSM menempati lahan yang sama di Batam. DIS dan RS memiliki sebagian saham DSM yang saat ini juga tengah dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Andri menceritakan para buruh tersebut sudah melakukan mogok kerja saat pabrik DSM berhenti beroperasi sejak 12 Februari 2015. Kemandegan usaha DSM tersebut dinilai bisa berpengaruh pada penyelesaian utang DIS.

Dia menuturkan beberapa perwakilan kreditur yang juga ikut meninjau lokasi pabrik mengungkapkan kekecewaannya. Inventarisasi aset ke pabrik tersebut terjadi karena sudah ada kesepakatan dengan debitur.

Debitur, lanjutnya, harus sudah mempersiapkan kedatangan para kreditur dan memberikan kemudahan. Pemblokiran masuk tersebut merupakan tindakan yang tidak masuk akal.

Selain itu, tim pengurus telah mendapatkan rencana proposal perdamaian yang diajukan DIS dan RS. Namun, isi tulisan dalam kedua proposal tersebut masih terdapat beberapa kesalahan yang cukup fatal.

Pertama, debitur salah dalam menuliskan sifat kreditur PT Bank Internasional Indonesia Tbk. dan PT BII Finance yang seharusnya separatis, tetapi menjadi preferen. Kedua, tagihan PT Bank Permata Tbk. yang tertulis dalam proposal hanya US$27 juta, sedangkan utang tersebut telah diverifikasi sebanyak US$43 juta.

Ketiga, proposal tersebut belum dibubuhi cap stempel bagian umum PN Jakarta Pusat serta tidak ada tanda tangan asli dari RS selaku debitur. Tanda tangan yang tertera hanya dari Lukman Witono selaku perwakilan debitur.

Keempat, tagihan pajak sebagai kreditur preferen justru tidak masuk dan diakui dalam proposal perdamaian. Kelima, para debitur juga tidak menjelaskan secara perinci mengenai jatuh waktu pembayaran pelunasan tagihan maupun gambaran prospek bisnis ke depan perusahaan.

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan RS, Lukman Witono mengakui adanya kesalahan penulisan dalam proposal perdamaian. Alasannya, bagian keuangan perusahaan telah salah dalam mengutip data utang. "Bagian keuangan kami yang salah ketik, besok akan kami perbaiki," ujarnya.

Bambang Kustopo selaku hakim pengawas memutuskan untuk menunda rapat tersebut hingga Jumat (27/2/2015). Debitur diharapkan bisa memperbaiki proposal perjanjian perdamaiannya. []


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper