Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENCEMARAN LINGKUNGAN: Riak Suram dari Toba (2)

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatra Utara dalam keterangan resminya menyatakan Danau Toba telah berada dalam status cemar sedang, bersama dengan Sungai Asahan, Sungai Belawan dan Sungai Deli.

AKU MENEMUI perwakilan PT Aquafarm, terkait dengan masalah ekspoitasi tersebut. Jarak kantor perusahaan di Ajibata dan penginapanku di Kecamatan Parapat, sangat dekat. Hanya ditempuh 5  menit dengan menggunakan angkutan umum.

Aku menjumpai Budianto Situmorang dan Johnson Hutajulu—keduanya mengurus masalah hubungan masyarakat dan tanggung jawab sosial— yang menjelaskan secara umum proses pembesaran ikan nila, termasuk soal kontribusi yang diberikan perusahaan pada masyarakat lokal.

Dalam daftar yang diberikannya, terdapat 16 jenis aktivitas yang berhubungan dengan tanggung jawab PT Aquafarm kepada masyarakat. Ini macam sumbangan ikan segar, pemberian kompos padat dan cair, donor darah hingga pemberian honor guru dan perbaikan saranan umum.

“Kami memiliki pemeriksaan rutin pula untuk uji air,” kata Hutajulu. “Menurut pemerintah, kami masih berada di batas normal.” “Bagaimana dengan hasil riset dari Pohan Panjaitan?” tanya aku. “Kami tak ingin menjawab itu.”

Namun lain di Ajibata, lain pula di Medan. Aku juga mewawancarai Mangaliat Simarmata, salah satu anggota Tim Percepatan Geopark Kaldera Toba, yang ingin memulihkan kawasan Danau Toba kembali sedia kala.

Pada Maret lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—sejak Oktober digantikan oleh Joko Widodo— meresmikan Geopark, yang  akan diusulkan ke the United Nations Educational, Scientific and Cultural  Organization (Unesco) untuk menjadi bagian Global Geoparks Network.

Tujuannya, agar konservasi dan pariwisata ramah lingkungan dapat dilakukan. Tim ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat sipil. Kami berbincang di salah satu kedai selepas hujan di kota itu. Dia mempertanyakan pemerintah yang tak meninjau ulang izin-izin perusahaan yang diduga mencemari Danau Toba.

“Ini tinggal tunggu waktu karena bisa sebabkan banjir dan longsor,” kata Simarmata. “Satu sisi pemerintah menginginkan Geopark, tapi sisi lain, izin-izin perusahaan terus diberikan.”

Protes tak hanya dilancarkan Simarmata seorang. Gerakan protes soal pencemaran di Danau Toba relatif frontal dilakukan sejak September 2013. Ini adalah ketika Marandus Sirait, Wilmar Simanjorang dan Hasoloan Manik— penerima penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari—mengembalikan hadiah tersebut ke Presiden dan Menteri Kehutanan dengan datang ke Jakarta.

Pengembalian tersebut merupakan protes akibat penggundulan hutan Tele, Kabupaten Samosir dan pencemaran di Danau Toba. Mereka juga mempertanyakan kebijakan pemerintah. Sirait menerima Kalpataru pada 2005, Manik pada 2010 sedangkan Simanjorang diganjar Wana Lestari pada 2011.

“Penghargaan-penghargaan yang kami dapatkan dulu itu tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi akibat kebijakan keliru oleh pemerintah,” kata Hasoloan dalam pernyataan bersama. “Atas dasar tersebut, penghargaan yang telah kami dapatkan, kami kembalikan.”

Pengawasan Lemah

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatra Utara dalam keterangan resminya menyatakan Danau Toba telah berada dalam status cemar sedang, bersama dengan Sungai Asahan, Sungai Belawan dan Sungai Deli.

Salah satu penyebab di antaranya  adalah limbah cair domestik. Sedangkan pada 2009, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menetapkan Danau Toba, satu dari 15 danau prioritas lainnya, mengalami kerusakan  dan penurunan kualitas pada ekosistem sehingga berpengaruh pada kehidupan masyarakat.

"Masyarakat tidak menghiraukan [eksploitasi] karena memakai jaring halus, sehingga semua telur dan ikan pora-pora diangkat," kata Lurah Desa Parsaoran, Kecamatan Ajibata, Besron Doloksaribu dalam diskusi terpisah. "Pemerintah memang tak melakukan pengawasan yang ketat."

“Pengawasan lemah, namun ekspansi dibiarkan saja oleh daerah,” kata Dodo Sambodo, Asisten Deputi Bidang Pengaduan dan Penataan Sanksi Administrasi KLH pada Oktober. “Ketika pengawasan lemah, maka pusat akan mengambil alih. Ini juga berdasarkan permintaan Komisi VII DPR RI.”

Pada Oktober 2013, Komisi VII DPR RI yang mengawasi persoalan lingkungan mendesak dilakukannya penegakan hukum terhadap tiga perusahaan yang diduga mencemari Danau Toba.

Masalah pencemaran, tentu bukanlah kali ini saja. Pada 2010, Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI  juga menyatakan pengelolaan kawasan Danau Toba belum maksimal akibat lemahnya lembaga yang menangani masalah tersebut—pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

Padahal, rencana besar sudah masuk  ke dalam Lake Toba Ecosystem Management Plan, sejak 2004. Buruknya, tak ada perubahan  penting terkait dengan perbaikan ekosistem danau tersebut.

Tim juga menyoroti persoalan lainnya, soal aktivitas korporasi yang berada di sekitar kawasan danau. Pemerintah daerah saat itu, bahkan mengusulkan agar keberadaan perusahaan ditinjau kembali karena minimnya kontribusi ekonomi dan rehabilitasi lingkungan.  Di antaranya adalah PT Aquafarm.

Lantas, bagaimana hasil audit KLH terhadap perusahaan tersebut?

Hasilnya menunjukkan adanya komposisi sedimen di area sekitar keramba jaring apung, yang  sesuai dengan kandungan pakan ikan milik perusahaan. Oleh karena itu, demikian KLH, diperlukan upaya untuk dikurangi jumlah sedimen tersebut karena membebani danau— walaupun parameter Total Nitrogen dan P-Phospat sudah memenuhi baku mutu peraturan daerah.

Audit itu menegaskan peningkatan pembiakan maupun konsumsi pakan ikan akan berpengaruh besar pada melonjaknya beban pencemaran badan air dan sedimen Danau Toba.

Berdasarkan temuan itu, KLH memerintahkan PT Aquafarm untuk melakukan perbaikan guna mengurangi beban pencemaran yang ditimbulkannya.  Salah satunya menginformasikan evaluasi kecenderungan air danau. Hasil audit itu juga disampaikan ke pemerintah provinsi Sumatra Utara.  

KLH pun mewajibkan penanggung jawab kegiatan bisnis tersebut untuk melaksanakan seluruh rekomendasi perbaikan paling lama setahun setelah ditandatangani. Tak hanya masalah pembiakan, soal lain yang belum dilakukan maksimal oleh perusahaan adalah pengelolaan limbah B3 sesuai aturan: tak dimilikinya tempat pembuangan maupun pemisahan limbah. Kesanku, audit itu juga mau bilang satu hal: tak ada perubahan penting apa pun soal pemulihan Danau Toba.

“Sejak otonomi diberikan sekeliling Danau Toba menjadi lebih hancur. Tak ada komitmen terhadap Toba oleh pemerintah daerah,” kata Dodo Sambodo dari KLH. “Saya harap hasil audit tersebut akan membuat mereka duduk bersama, terpadu dalam mengatasi pencemaran.”

Masalah ini membuat aku ingat bagaimana nelayan kecil macam Siska Nainggolan dan Hasudungan Saragih bertahan hidup. Tak hanya mereka berdua, tapi nelayan-nelayan lainnya di Ajibata. Di balik itu semua, aku masih teringat ketenangan Danau Toba pada suatu sore Parapat. Air yang mengalir. Bebatuan yang terhampar.

Senja yang hampir tiba. Mungkin, tak keliru apa yang disampaikan akademikus Universitas HKBP Nommensen, Pohan Panjaitan:  pemerintah harus mengambil kendali. Pemulihan danau sekaligus mensejahterakan masyarakat di sekelilingnya.

Bukan hanya untuk perusahaan besar. Tetapi, hal inilah yang tak aku lihat dari Ajibata. Baik saat ikan pora-pora tengah berlimpah atau kini—sesaat menjelang musnah. (habis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Yusran Yunus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper