Kabar24.com, JAKARTA - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menolak praktik hukuman pidana mati diberlakukan di Indonesia, dan menganggap bahwa hukuman mati tidaklah bisa mengurangi kejahatan alias hal itu hanya mitos belaka.
Direktur Eksekutif ELSAM Indriaswati D. Saptaningrum mengatakan bahwa pidana mati di Indonesia memang selalu memantik kontroversi yang cukup keras. Ada yang berpandangan bahwa pengaturan dan penerapan pidana mati justru bertentangan dengan hak hidup, suatu hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut dalam kondisi apapun (non derogable rights).
Menurutnya, meskipun dalam kacamata hukum positif, pidana mati legal untuk dipraktikkan, lantaran hal itu masih merupakan bagian dari pidana pokok yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pihaknya bersama ICJR sepakat tetap menolak hukuman mati, karena tidak berkorelasi sejajar dengan berkurangnya angka kejahatan.
Dari data yang terhimpun, sejak 1987 ada setidaknya 189 terpidana yang telah dijatuhi pidana mati, dari jumlah tersebut, sampai dengan Januari 2015, masih ada 164 terpidana mati yang menunggu eksekusi Jaksa Agung.
Kabar mengejutkan datang dari Kejaksaan Agung, yang mengumumkan akan memajukan eksekusi mati terpidana mati kasus narkoba, dari jadwal semula 22 Januari 2015 menjadi 18 Januari 2015.
Eksekusi dilakukan di 2 tempat, Nusamkambangan dan Boyolali, terhadap 6 orang (4 laki-laki dan 2 perempuan)—yang sebelumnya sempat mengajukan grasi tapi kemudian ditolak Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2014 silam: Rani Andriani (Indonesia), Daniel Enemuo dan Namona Denis (Nigeria), Ang Kim Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil).
"Menurut keterangan Kejaksaan Agung, eksekusi mati yang jatuh pada hari Minggu (18/1) ini merupakan eksekusi mati gelombang pertama. Artinya, masih ada gelombang eksekusi berikutnya yang akan dilakukan pada tahun ini," ujarnya, seperti siaran pers yang diterima Bisnis, Minggu (18/1).
Menurutnya keputusan tersebut kian menegaskan absennya komitmen HAM dari pemerintah Indonesia, utamanya dalam melindungi hak untuk hidup (right to life). Terlebih karena dalam dua tahun terakhir ini pemerintah menerapkan praktik hukuman mati secara eksesif.
Pada 2013, berdasarkan data dari Kejaksaan Agung, tercatat ada 5 terpidana yang telah dieksekusi. Situasi ini kontras sekali dengan kecenderungan dunia internasional yang kini tengah bergerak menuju penghapusan hukuman mati.
Penerapan hukuman mati menunjukkan sikap pemerintah masih menutup mata terhadap berbagai kontradiksi dan risiko-risiko pemberlakuan aturan hukuman mati.
Setidaknya terdapat tiga argumen pokok mengapa hukuman mati menjadi tak relevan untuk diterapkan di Indonesia. Pertama, penerapan hukuman mati bermasalah secara konseptual, bertantangan dengan hak untuk hidup dalam konstitusi.
Kedua, penerapan hukuman mati juga bermasalah dalam tataran implementasi. Hal ini terkait dengan sistem hukum di negeri ini yang masih korup.
Ketiga, pemberlakuan hukuman mati juga sejatinya bertentangan dengan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidaan pada dasarnya adalah koreksi, bukan ajang pembalasan dendam.
Selain itu, pada 2015, Pemerintah bahkan telah berencana untuk melakukan pembahasan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), bahkan RUU KUHP berada pada urutan pertama prolegnas untuk dibahas di DPR. Perlu dicatat bahwa KUHP adalah dasar dari penjatuhan pidana mati, yang menjadi menarik adalah dalam RUU KUHP, pemerintah bertujuan untuk membatasi penggunaan pidana mati.
Pasal 87 RUU KUHP menyatakan bahwa Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Kesan pengetatan terhadap pidana mati lalu diejawantahkan dalam Pasal 89 yang pada intinya mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: (a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; (c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan (d) ada alasan yang meringankan.
Kemudian jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Apabila masa percobaan tidak berhasil, barulah pidana mati dapat dilakukan, setelah grasi yang diajukan oleh terpidana ditolah oleh Presiden.
Tidak hanya sampai disitu, dalam Pasal 90 RUU KUHP, kembali mengatur ketentuan yang menyatakan bahwa jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun, bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.
Oleh karena itu, melihat prospek yang lebih baik dalam RUU KUHP terkait pidana mati, maka ELSAM dan ICJR merekomendasikan agar pemerintah melakukan moratorium eksekusi pidana mati setidaknya sampai dengan RUU KUHP rampung dibahas di DPR, tujuannya untuk menjaga konsistensi kebijakan hukum Pemerintah terkait pidana mati sebagaimana dalam RUU KUHP.
ELSAM dan ICJR juga menyerukan agar pemerintah segera menangguhkan eksekusi mati untuk keenam terpidana kasus kejahatan narkoba tersebut dan secara konsisten melakukan moratorium hukuman mati sebagaimana disarankan oleh Komite ICCPR.
Moratorium eksekusi pidana mati, juga sekaligus akan menaikkan posisi pemerintah di dunia internasional. Terlebih Indonesia juga menghadapi kenyataan setidaknya ada lima sampai tujuh TKI yang terancam dipidana mati di Arab Saudi, Malaysia, Emirat Arab dan Hongkong.
Kritik Pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan pidana mati bagi TKI di luar negeri tentu saja akan terlihat lebih nyaring apabila di dalam negeri Indonesia menunjukkan sikap adil terkait pengetatan pidana mati.
Selain itu kami menyerukan agar pemerintah meminimalisir penggunaan ancaman hukuman mati, dalam penanganan kasus-kasus kejahatan, sehingga bisa menjadi titik permulaan untuk melakukan penghapusan terhadap keseluruhan ancaman pidana mati.
Penghapusan hukuman mati menjadi satu hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pertama, tidak dapat diperbaikinya lagi kemungkinan terjadinya kekeliruan (error judiciaire) karena yang bersangkutan telah meninggal.
Kedua, penerapan hukuman mati tak pernah memicu turunnya angka kejahatan, karena statistik tidak menunjukkan demikian. Efek jera yang selama ini menjadi jantung argumen penerapan hukuman mati tak pernah terbukti, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya.
Ditegaskan PBB, tak-ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan.