Bisnis.com, YOGYAKARTA – Warga Daerah Istimewa Yogyakarta kini bisa bernafas lega karena musim kemarau dengan suhu cuaca yang tinggi diperkirakan segera berakhir.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY memperkirakan mulai awal November, wilayah DIY memasuki musim penghujan setelah sempat mundur selama hampir 20 hari.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG DIY Toni Agus Wijaya mengatakan hujan tidak akan turun bersamaan di seluruh wilayah DIY, melainkan secara bertahap.
Dia memperkirakan hujan akan turun terlebih dahulu di wilayah utara dengan intensitas rendah kemudian bergerak ke pusat kota sekitar pertengahan bulan dan akhirnya menyentuh daerah selatan DIY.
“Diawali dari wilayah utara. Pada minggu-minggu ini sudah mulai ada hujan gerimis atau hujan ringan. Nanti, pertengahan November, baru daerah pertengahan, Kota Jogja. Baru nanti pada akhir november daerah Selatan, Gunung Kidul. Sehingga pada akhir November seluruh wilayah di DIY ini secara keseluruhan baru memasuki musim hujan,” jelasnya, Sabtu (1/11/2014).
Toni memaparkan jadwal awal mula masuknya musim penghujan di seluruh wilayah DIY memang tidak pernah bersamaan. Hal itu lantaran perbedaan ketinggian lahan topografi wilayah setempat yang terdiri atas area pegunungan di utara hingga daerah daratan rendah dan pantai di wilayah selatan.
“Di bagian utara, faktor pengumpulan uap air terjadi lebih dulu terjadi dibandingkan selatan, maka yang utara ini masuk musim hujan juga lebih dulu,” katanya.
Menurut Toni, musim hujan kali ini memang datang terlambat sekitar 10 – 20 hari dari kondisi normal. Penyebabnya, ujarnya, pola angin yang bertiup di kawasan Indonesia masih berasal dari arah timur ke arah barat.
“Jika pola angin sudah berubah, dari barat ke timur, dia membawa banyak uap air sehingga kita memasuki musim hujan,” katanya.
Pola angin itu pula lah, lanjutnya, yang turut berpengaruh terhadap tinggi gelombang di laut selatan DIY. “Karena peningkatan kecepatan angin, minggu-minggu ini antara 2 – 3 meter. Tapi tidak terlalu ekstrem, masih dalam batas yang wajar.”
Dia membenarkan suhu udara yang terasa panas dan menyengat dalam beberapa waktu terakhir, khususnya pada bulan lalu. Pada bulan lalu, ujarnya, suhu di Kota Jogja pada siang hari sempat menyentuh 35 derajat celcius.
Meskipun tidak sepanas puncak suhu tertinggi pada tahun lalu, yakni 36 derajat celcius, namun Toni tetap berpendapat hal itu sebagai penyimpangan.
Hal itu, ujarnya, lantaran posisi matahari yang berada tegak lurus dengan wilayah DIY. “Sehingga sinar matahari lebih banyak kita terima dibandingkan bulan-bulan lainnya. Suhu juga lebih panas,” katanya.
Dia menyampaikan udara pada bulan lalu terasa sangat tidak nyaman karena selain suhu yang panas, masih ada faktor tingkat kelembaban udara yang rendah. Kelembaban udara di siang hari dalam beberapa minggu terakhir ini hanya berkisar antara 40% – 50%.
“Kelembaban udara yakni kadar jumlah air di dlaam udara. Kelembaban udara yang rendah tadi menyebabkan kurang nyaman ketika kita berada di luar ruangan,” ujarnya.
Dalam satu tahun, ujarnya, sebanyak dua kali posisi matahari berada tepat tegak lurus dengan wilayah DIY. Yakni pada Oktober dan Februari. “Biasanya dua bulan itu adalah saat pancaroba,” katanya.
Faktor perubahan iklim dan pemanasan global disinyalir sebagai penyebab utama penyimpangan cuaca yang sering dialami dalam beberapa waktu terakhir.
Rentan antara puncak suhu tertinggi dan puncak suhu terendah tergolong besar. Pada tahun ini, ujarnya, suhu udara terendah sempat menyentuh 18 derajat celsius yakni pada menjelang dini hari pada Juli dan Agustus ketika puncak kemarau.
Banyak faktor, ujarnya, selain lingkungan berubah, suhu global memanas, pola hujan pun menyimpang.
“Ini tidak hanya dialami kita di Jogja, tapi di seluruh dunia juga mengalami,. Yang paling gampang terlihat adalah pola hujan yang sering menyimpang dari jadwal. Musim kemarau atau musim hujan yang sering bergeser,” katanya.