Bisnis.com, PEKANBARU--Pengelolaan lahan gambut di Provinsi Riau sebaiknya perlu dilakukan dengan menerapkan teknologi ekohidro (tata kelolal air) agar fungsi ekologis dan ekonomis dapat berjalan seimbang.
Hal itu disampaikan sejumlan pakar, akademisi, dan pelaku usaha dalam Forum Diskusi yang berlangsung di Universitas Riau (UNRI) Jumat (31/10). Diskusi tersebut diikuti sedikitnya 15 pakar gambut dan tanah dari berbagai Universitas ternama di Indonesia, Kadin Riau, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan korporasi.
Pakar gambut Univeristas Riau, Wawan mengatakan, untuk mengurangi pro kontra pemanfaatan lahan gambut, Pemprov Riau sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menerapkan desain pengelolaan ekohidro pada semua konsesi baik hutan tanaman industri, perkebunan sawit maupun perkebunan rakyat.
Jika dikelola dengan menggunaakan teknologi yang tepat, fungsi lahan gambut sebagai penyimpan karbon, pengatur tata atir dan menjaga kelangsungan plasma dapat tetap terjaga.
Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Suwardi mengatakan, gambut berpotensi menjadi sumber kehidupan jika dikelola dengan baik. Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara berkelanjutan melalui pendekatan tiga pilar yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup agar pengembangannya dapat mendukung pengembangan ekonomi dan sosial dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Menurutnya, PP 71/2014 yang mengatur ketebalan gambut lebih dari 3 meter harus dijadikan areal lindung, berimplikasi pada sebagian besar areal HTI dan perkebunan sawit, serta karet di lahan gambut harus dikembalikan menjadi kawasan lindung. "Pasal yang mengatur ketebalan gambut dalam PP 71/2014 perlu ditinjau kembali agar kegiatan budidaya pertanian tetap dapat dilakukan," katanya dalam terangan tertulis yang diterima Bisnis.com, (31/10).
Kunci pokok pengelolaan lahan gambut adalah pengaturan tata air untuk areal tanaman budidaya serta perlindungan ekosistem areal kawasan lindung yang perlu dilestarikan. Untuk pengukuran kedalaman muka air tanah perlu mempertimbangkan relief mikro permukaan gambut, waktu dan tempat pengukurannya. Peninjauan PP 71/2014 yang mengatur kedalaman muka air tanah maksimal 0,4 m bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman dan menggunakan selang kedalaman.
Suwardi menilai, perlu dilakukan penelitian secara kerkelanjutan untuk menemukan spesies tanaman yang lebih adaptif pada lahan gambut dan dapat berproduksi lebih tinggi melalui persilangan spesies yang telah ada atau mencari spesies baru yang lebih adaptif terhadap kedalaman muka air tanah yang lebih tinggi.
Salah satu permasalahan yang selalu berulang setiap tahun di Propinsi Riau adalah terjadinya kebakaran lahan termasuk di lahan gambut. Penyebab terjadinya kebakaran lahan selalu berkaitan dengan kegiatan manusia. "Untuk mengatasi terjadinya kebakaran lahan maka perlu dilakukan pendekatan secara sosial agar masyarakat dalam proses pembukaan lahan untuk perkebunan tidak menggunakan api," ujarnya.
Luas wilayah Provinsi Riau 8,9 juta ha dengan luas lahan gambut 4,1 juta ha atau 46% dari total luas wilayah. Dari lahan gambut yang ada di Provinsi Riau, sebagain besar tergolong gambut dalam atau memiliki ketebalan lebih dari 3 meter. Dari lahan gambut 4,1 juta ha di Provinsi Riau, sekitar 1,1 juta ha digunakan untuk hutan tanaman industri (HTI), 0,8 juta ha untuk tanaman kelapa sawit, dan 0,5 juta ha untuk tanaman pertanian lain. "Oleh karena itu, pengembangan lahan gambut di Provinsi Riau sangat penting dalam sektor pertanian, industri terkait pertanian dan industri kehutanan," kata Suwardi.