Bisnis.com, YOGYAKARTA--DPRD DI Yogyakarta meminta Pemda mengkaji ulang logo dan brand baru yang sedang dipersiapkan pemerintah bersama dengan pakar marketing Hermawan Kertajaya.
Hal itu dikemukakan Wakil Ketua DPRD Arif Noor Hartanto menyusul polemik yang mengemuka pasca pengenalan logo dan brand baru DIY yang diperlihatkan secara terbuka pada acara Urun Rembug di Atrium Ambarukmo Plaza, Selasa pekan ini.
"Menurut saya permintaan dari berbagai praktisi yang minta agar ini [rebranding DIY] diendapkan, direnungkan lebih mendalam, kemudian ditemukan logo yang paling pas untuk merepresentasikan spirit DIY sangat baik. Jangan sampai gegabah," katanya di Gedung DPRD DIY di Jl. Malioboro, Jogja, Kamis (30/1).
Lebih lanjut, Dewan mengusulkan kepada Pemda DIY agar menggelar sayembara terbuka untuk membuat brand baru yang mencirikan jati diri DIY. Jati diri DIY, ujarnya, terletak pada kebudayaan. Di sini pula, ujarnya, tersebar banyak praktisi kebudayaan, seniman, pemikir, serta kreator-kreator kreatif yang akan dengan sukarela membantu menciptakan brand kuat bagi DIY.
"Coba dibuka wacana-wacana seperti itu, dibuka sayembara. Banyak kok orang yang akan rela [menciptakan brand DIY terbaik] meskipun taruhlah misalnya di dalam penganggaran tidak ada hadiahnya asalkan hak intelektualnya diakui," ujarnya.
Dia mengingatkan agar branding yang dilakukan DIY bukan sekadar branding untuk menjual diri. Branding harus dilakukan dalam rangka untuk semakin mengukuhkan jati diri. Kekayaan dan warisan kebudayaan di DIY, ujarnya, sudah merupakan magnet tersendiri di dalam menarik pihak luar berkunjung ke DIY tanpa daerah perlu menjual diri secara berlebihan.
"Jangan sampai kita tergelincir dalam branding, menjual diri secara berlebihan yang akhirnya kita kehilangan jati diri. Saya khawatir kalau branding itu digunakan untuk menjual diri kita, justru akan terasa hampa dan tidak sesuai dengan realitas," katanya.
Selama ini, ujarnya, DIY telah menggunakan branding Jogja Never Ending Asia dengan logo tulisan Jogja berwarna hijau. Ketika diperkenalkan pertama kali pada 15 tahun lalu, ujarnya, masyarakat gempar dan bersuka ria menyambut logo tersebut hingga menggunakannya dalam berbagai jenis tulisan. Namun demikian, seiring dengan waktu, Jogja Never Ending Asia justru tidak terdengar gaungnya.
"Menurut saya, kita harus belajar dari brand Jogja Never Ending Asia. Lah ini perlu dievaluasi secara mendalam. Kita perlu belajar dari brand itu, di mana titik lemah dan kegagalan kita sehingga jangan sampai terulang lagi pada masa-masa yang akan datang," katanya.