Bisnis.com, JAKARTA -- Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengakui tidak sependapat dengan sikap Faksi Partai Demokrat dalam voting pengesahan RUU Pilkada dinilai aneh.
Sebagai presiden, sesungguhnya, dia bisa menggagalkan pengesahan produk legislasi itu.
Pengamat Hukum Tata Negara Irman Putrasidin mengatakan selain RUU Pilkada merupakan inisiatif pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden SBY, sebagai presiden, SBY bisa saja “ngambek” dan menarik pulang Menteri Dalam Negeri saat pembahasan RUU itu sebelum voting dilakukan.
Dalam kondisi demikian, ujarnya, pembahasan RUU itu tidak bisa dilanjutkan karena harus mendapatkan persetujuan kedua pihak, yakni DPR dan pemerintah.
Menurut Irman, kemenangan Opsi II untuk pemilihan kepala daerah melalui DPRD atas Opsi I berupa pemilihan kepala daerah secara langsung bukan berarti telah terjadi pencabutan atas kedaulatan rakyat.
Menurutnya, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung maupun melalui mekanisme pemilihan lewat DPRD sama-sama demokratis sebagimana ditur dalam undang-undang.
“Jadi tidak ada hubungan dengan kedaulatan rakyat yang dicabut,” ujarnya di Gedung DPD, Jumat (26/9/2014).
Dengan demikian, ujarnya, presiden juga tidak punya legal standing untuk melakukan gugatan atas keputusan tersebut.
Namun demikian, dia mengakui bahwa rakyat punya hak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait keputusan tersebut.
Hanya saja, ujar Irman, dasar pijakan untuk gugatan tersebut lemah karena kedua opsi tersebut sama-sama demokratis.
Fraksi Partai Demokrat mengambil sikap walk out saat pengambilan keputusan terkait RUU Pilkada tadi malam, yang harus berakhir dengan cara voting.
Langkah itu memberi peluang bagi kemenangan Koalisi Merah Putih yang dimotori Partai Golkar dengan raihan 226 suara.
Sedangkan Opsi I yang dimotori Fraksi PDIP hanya meraih 135 suara.