Bisnis.com, BRUSSELS -- Sektor keuangan Rusia menghadapi tekanan sanksi lebih dalam menyusul ancaman Uni Eropa untuk membatasi akses Negeri Beruang Merah ini ke pasar modal, energi yang sensitif, dan teknologi pertahanan.
“Intervensi Rusia, termasuk mempersenjatai pemberontak pro-Rusia ke Ukraina berujung pada kecelakaan pesawat terbang ini. Kami perlu menyetop upaya Rusia dalam destabilisasi di Ukraina, dan itu dapat berupa sanksi,” tekan Perdana Menteri Inggris, David Cameron di Kepulauan Shetland, Rabu (23/7/2014).
Amerika Serikat juga mendesak Eropa untuk menjatuhkan sanksi tambahan yang lebih keras, setelah peristiwa jatuhnya pesawat Malaysia Airline (MAS) MH-17 di Ukraina.
Kebijakan apa pun yang disiapkan oleh Uni Eropa akan mengikuti langkah AS yang telah menutup akses korporasi Rusia ke pasar utang.
Untuk itu, Menteri Luar Negeri Italia Federica Mogherini mengungkapkan inisiatif Rusia dalam membuka penyelidikan terkait jatuhnya pesawat MAS itu akan menjauhkan negeri itu dari ancaman sanksi.
Meski kondisi keuangan Rusia terancam sanksi, indeks Micex, acuan saham Rusia, justru menguat menjadi 1.405,97 pada penutupan di Moskow.
Ini adalah kenaikan pertama kalinya setelah mencatat penurunan selama 6 hari.
Rubel juga terapresiasi 0,6% menjadi 34,96 per dolar di Moskow.
Akibat berkobarnya krisis di Ukraina dan sanksi dari ‘barat’, Rusia terpaksa membatalkan lelang obligasi, setelah biaya pinjaman melonjak ke level tertinggi selama lebih dari 2 bulan.
Kementerian Keuangan Rusia menyatakan penundaan penjualan obligasi pemerintah itu dipicu ketidakstabilan kondisi pasar keuangan.
Yield obligasi denominasi rubel yang jatuh tempo pada Februari 2027 merosot menjadi 9,14% di Moskow, setelah melonjak 19 basis poin pada Selasa (22/7).
Keputusan Uni Eropa itu akan dibarengi dengan daftar pengusaha Rusia yang masuk dalam target sanksi AS.
Rencananya, Uni Eropa bakal mengumumkan sanksi bagi Rusia pada Kamis (24/7).