Bisnis.com, MOSKOW -- Survei Bloomberg terhadap para ekonom menunjukkan bahwa Rusia kemungkinan akan menghadapi resesi. Survei dilakukan terkait dengan Ukraina yang masih dilanda krisis, sehingga memungkinkan Rusia kembali mendapat sanksi ekonomi.
Diperkirakan dalam kurun waktu 12 bulan ke depan, probabilitas terjadinya resesi meningkat 50%. Nilai ini merupakan estimasi 8 ekonom yang disurvei, sebelum Amerika Serikat dan Uni Eropa mengumumkan sanksi yang mereka berikan pada Senin (28/4).
Aneksasi Rusia ke Crimea sebulan yang lalu mendorong sanksi AS dan Uni Eropa berupa ancaman resesi kepada negara 2 triliun dolar tersebut.
Aliran arus modal terhitung mencapai 50,6 miliar dolar pada tiga bulan pertama di 2014, dari 27,5 miliar dolar sebelumnya. Padahal, selama 2013, aliran dana keluar Rusia adalah 63 miliar dolar.
“Isu-isu mengenai Ukraina membawa ketegangan tinggi. Aliran arus modal sepertinya akan berlanjut dengan kecepatan tinggi,” kata ekonom IHS Global Insight, Charles Movit di Washington, Selasa (29/4). Menurut dia, lemahnya rubel berdampak pada daya beli konsumen, sehingga diharapkan akan terjadi penurunan pada konsumsi produk.
Per April tahun ini, rubel telah jatuh 8,4% terhadap dolar. Kondisi ini merupakan yang terburuk kedua setelah peso Argentina, menurut pantauan mata uang negara berkembang oleh Bloomberg.
Senin kemarin, AS kembali menjatuhkan sanksi pada 7 pejabat Rusia dan 17 perusahaan yang berada dalam lingkaran Presiden Rusia, Vladimir Putin. Menurut AS, Rusia tidak menindaklanjuti perjanjian Jenewa untuk meredakan krisis.
Sebagai informasi, perjanjian Jenewa merupakan komitmen untuk menghentikan krisis Ukraina yang ditandatangani oleh 4 pihak yaitu Menteri Luar Negeri Rusia, representatif AS, representatif Ukraina, dan representatif Uni Eropa untuk hubungan internasional dan kebijakan keamanan.
Perjanjian ini ditandatangani pada 17 April lalu, dan memiliki beberapa poin penting yaitu menghentikan kekerasan, pelucutan senjata, pengembalian gedung-gedung pada pemiliknya, dan memberikan amnesti pada para pemrotes.
Rusia melalui duta besarnya di Indonesia pada 23 April kemarin, menyampaikan bahwa yang sebenarnya harus melaksanakan komitmen itu adalah pihak Ukraina sendiri.
Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Mikhail Gulevin menyampaikan bahwa sanksi ekonomi pada Rusia memang menutup kompetisi mereka. Namun, Gulevin menilai, AS justru menyalahi prinsip pasar.