Bisnis . com, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menegaskan keinginan Yusril Ihza Mahendra agar MK menafsirkan Pasal 6A UUD 1945 harus ditolak karena permohonan itu salah.
Hamdan menjelaskan permohonan Yusril untuk menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak bisa ditanggapi oleh para hakim konstitusi karena MK tidak berhak mengeluarkan fatwa.
Dia membenarkan pernyataan Yusril bahwa MK adalah penafsir tunggal UUD 1945. Namun, kewenangan menafsirkan konstitusi tersebut hanya bisa dilaksanakan untuk mengadili permintaan uji materi sebuah UU atau peraturan lain di bawahnya.
“Penafsiran yang dikeluarkan oleh MK itu hanya terkait dalam rangka penafsiran pengujian UU. Harus dikaitkan dengan pasalnya. Jadi itu permohonannya yang salah ,” kata Hamdan di Istana Negara, Jumat (21/3/2014).
Dia menegaskan MK telah menanggapi permintaan-permintaan penafsiran lain di dalam permohonan Yusril yang dikaitkan dengan uji materi UU.
Namun, pasal-pasal UU Pemilihan Presiden yang diajukan oleh Yusril sudah pernah diuji MK. Pasal mengenai presidential threshold, jelas Hamdan, bahkan telah 4 kali diajukan untuk diuji oleh para hakim konstitusi.
"Nanti bisa saja DPR melakukan perubahan tidak perlu ada presidential threshold pada Pemilu 2019, itu terserah DPR dan presiden yang membentuk UU,” kata Hamdan.
Yusril kemarin (Kamis, 20/3/2014) menyatakan kekecewaannya atas putusan MK yang menolak menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Ahli hukum tata negara itu bahkan menuduh MK penakut karena tidak berani menjalankan kewenangannya.
Pernyataan itu diutarakannya usai mendengar putusan MK yang tidak mengabulkan permintaannya untuk membatalkan beberapa pasal dalam UU Pemilihan Presiden terkait syarat pengajuan calon presiden.
“Yang mengatakan penafsir UUD kan MK sendiri. Sekarang ketika saya mohon, dia bilang tidak berwenang menafsir. Saya pikir MK ini sudah jadi penakut,” katanya di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/3/2014).