Bisnis.com, MALANG — Pemberlakuan Peraturan Pemerintah No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar berpeluang mumunculkan pungutan liar oleh aparat.
Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Komisariat Malang Heri Mursid Brotosejati mengatakan dalam PP tersebut tidak jelas kriteria dari apa yang disebut dengan tanah terlantar.
“Dengan ketidakjelasan dari PP tersebut, maka pemerintah bisa memonopoli penafasirannya,” ujar Heri di Malang, Senin (17/3/2014).
Dengan adanya monopoli tafsir, maka bisa memunculkan sikap aparat yang korup t dengan memungut dana dari pengembang dengan kompensasi penetapan bahwa tanah mereka tidak disebut sebagai tanah terlantar.
Kenyataan itu tentu menyulitkan pengembang. Padahal sudah lazim pengembang yang menguasai tanah dengan luasan siginifikan dan tidak langsung dikerjakan proyeknya.
Lagi pula tidak mungkin pengembang yang berencana membangun kawasan perumahan 100 hektare membebakan tanah hanya separohnya dan sisanya akan dibebaskan lagi setelah rumah yang mereka bangun.
“Kalau pengembang tidak langsung membebaskan tanah, maka risikonya tanah sekitar kawasan yang sudah dibangun ikut terdongkrak naik sehingga menyulitkan pengembang,” ujarnya.
Pemanfaatan tanah untuk rumah juga mempertimbangkan kondisi pasar. Intinya, jika pasarnya bagus, tanpa diperintah, maka pengembang akan ramai-ramai membangun rumah, begitu pula sebaliknya.
Ketentuan bahwa tanah h berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) bisa dicabut bila dianggap terlantar mengacu PP tersebut juga memunculkan persoalan hukum.
Dari sisi hukum, pencabutan tanah berstatus HGB tidak bisa diterima karena mengacu ketentuan yang lain bahwa tanah berstatus HGB bisa dicabut jika cara perolehannya ada yang salah.
Direktur Utama PT Bulan Terang Utama Umang Gianto, yang menguasai tanah 200 hektare untuk proyek perumahan bersubsidi di Kota Malang, mengatakan sebenarnya adanya PP tersebut tidak perlu dirisaukan pengembang.
Yang penting, pengembang memang benar-benar berniat untuk membangun tanah yang telah dibebasakan tidak akan terkena sanksi mengacu PP No.11/2010.
Karena itulah, pengembang harus pintar menyiasatinya. Contohnya dengan membangun infrastruktur terlebih dulu, saat tanah yang dibebaskan belum dimulai pemanfaatannya.
Dengan begitu pengembang tidak bisa dianggap telah menelantarkan tanah yang mereka bebaskan.
Cara lain yang bisa dilakukan, adanya komunikasi dengan Kantor Pertanahan setempat terkait dengan perkembangan pemanfaatan lahan.
“Dengan adanya komunikasi dengan aparat, maka pemerintah tidak salah paham mengenai tanah yang telah dibebaskan dan belum dimulai proyeknya oleh pengembang,” ujarnya.