Bisnis.com, BEIJING--Penurunan terbesar sejak 2009 pada ekspor China memperdalam pintu masuk deflasi ke sektor pabrik dan menjadi tantangan bagi Perdana Menteri Li Keqiang untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 7,5%.
Data Bea Cukai pada 8 Maret menunjukkan pengiriman barang ke luar negeri pada Februari secara tak terduga turun 18,1% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara menurut laporan Biro Statistik, harga produsen turun 2% dan menjadi yang terbesar sejak Juli dan melanjutkan penurunan terpanjang sejak 1999.
Saham Asia jatuh dan logam termasuk tembaga turun karena data telah memicu kekhawatiran pada prospek ekonomi terbesar kedua di dunia. Sementara itu, bank sentral melemahkan nilai yuan hingga capaian terbesar sejak 2012.
Distorsi dari liburan tahun baru Imlek dan faktur palsu yang telah meningkatkan angka perdagangan pada tahun lalu, serta diiringan dengan lebih besarnya impor dari yang diproyeksikan telah menyulitkan penilaian atas keadaan yang sebenarnya.
"Terdapat inkonsistensi intrinsik dalam target kebijakan mereka dan realitas ekonomi," kata Liu Li-Gang, Kepala Ekonomi Greater China pada Australia & New Zealand Banking Group Ltd. di Hong Kong pada Senin (10/3/2014) melalui telepon.
Menurutnya, pertumbuhan di bawah 7,5% pada semester pertama dapat memacu pemerintah untuk menggunakan stimulus fiskal, namun, jika pemerintah melakukan hal ini maka dapat membahayakan agenda reformasi ekonomi China.
Di lain pihak, Dariusz Kowalcyk, Ahli Strategi Credit Agricole CIB di Hong Kong mengatakan pelemahan yuan secara signifikan dapat memperbaiki data perdagangan yang buruk. Dia juga menyarankan agar dilakukan kebijakan pelemahan yuan lebih lanjut untuk membantu eksportir. (Bloomberg)