Bisnis.com, JAKARTA - Perawakannya kurus, tidak terlalu tinggi, rambutnya gondrong sepunggung. Namanya Sofarus Sobandi. Kelahiran 4 September 1996 di Jonggol, sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dengan memakai celana selutut, topi hitam dan kaos bertuliskan 'Jeruji', nama sebuah band hardcore favoritnya, Farus menyapa saya dengan ramah, sambil menggendong tas kecil dipunggungnya.
"Halo Kak, saya Farus," begitu dia memperkenalkan dirinya, ketika saya temui di Sekolah Master (Masjid Terminal), Depok, Jawa Barat, belum lama ini. Sebuah sekolah gratis di bawah naungan Yayasan Bina Insan Mandiri (YABIM) yang terletak dibelakang Terminal Terpadu Kota Depok.
Suasana sekolahan saat itu masih cukup ramai, walau terik mentari sudah terasa menyengat di badan. Sejumlah siswa-siswi sekolah dan beberapa relawan pengajar tampak berlalu-lalang menyelesaikan pekerjaannya masing-masing.
Di sudut dekat kamar mandi, sejumlah anak usia TK hingga SD terlihat bergerombol sedang bermain bersama. Ada yang bermain gangsingan ada pula yang hanya sekedar menonton sambil makan pisang.
Ada pula yang sambil menikmati es krim hingga tercecer di mulutnya. Sesekali tawa lepas terdengar dari sana. Di tempat lain, sejumlah siswa tingkat SMA juga nampak sedang berbincang di tangga kelas.
Sekarang ini, Farus juga sedang menempuh pendidikan kelas 3 SMA. Dan siang itu, dia baru saja selesai mengikuti kegiatan bimbingan belajar untuk persiapan ujian memasuki perguruan tinggi favoritnya, yakni Universitas Indonesia (UI) atau Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Farus, mantan anak jalanan yang masih mempunyai semangat belajar dan menggapai mimpi untuk menjadi orang sukses itu, adalah salah satu dari ribuan anak-anak kaum dhuafa yang mengikuti pendidikan gratis di Sekolah Master.
Anaknya cerdas dan terampil. Dia mahir dalam desain grafis, bermain musik, editing film, pelajaran, dan lainnya yang semua itu diperoleh dari sekolahan gratis yang terletak ditengah-tengah Kota Depok tersebut.
Seperti namanya, sekolah yang lahir dari sudut bangunan tempat ibadah itu, kini menampung ribuan anak-anak dari keluarga kurang mampu, gelandangan, anak jalanan, siapa saja latar belakangnya dan berapa pun usianya, yang membutuhkan pendidikan.
"Saya ingin sekali bisa masuk perguruan tinggi kak. Saya ingin mengabdikan diri kepada adik-adik ini [sambil menunjuk anak-anak kecil usia kelas TK di dekatnya]. Cita-cita saya ingin membuat sekolahan seperti Sekolah Master di daerah saya," tuturnya menerawang.
Sekolah Master menawarkan pendidikan gratis tingkat TK sampai SMA, termasuk untuk program Paket A sampai Paket C, meskipun pada awalnya hanya untuk SMP saja, masih bersifat informal. Setelah berkembang, lalu muncul kelas SD, hingga menyusul SMA dan TK.
Sekolahan ini dirintis oleh sejumlah remaja masjid yang tergabung dalam Ikatan Remaja Masjid Al Muttagien sejak 2001. Dari pengurus ini, munculah pria bernama Nurrohim yang dikenal sebagai motor penggeraknya.
Meskipun hanya sebagai pedagang warung makan dan kelontong di lingkungan terminal, Nurrohim berhasil memanfaatkan jaringan yang dimilikinya untuk mengembangkan sekolah yang dimulai dari sudut emperan tempat ibadah itu, hingga dikenal berbagai kalangan, baik dari perusahaan sampai perguruan tinggi ternama berbagai negara.
Terakhir, Sekolah Master baru saja dikunjungi relawan dari Mokpo National University Republic of Korea. Mereka melakukan program sukarela selama sepuluh hari.
Nurrohim terus mengembangkan sekolah gratis bagi anak-anak jalanan, pemulung, pengasong itu dengan tanpa ragu sejak awal rela menggunakan dana pribadinya untuk menghidupi sekolah gratis tersebut, dan donasi dari berbagai pihak.
“Semangat saya untuk mereka, sebagai wujud keprihatinan saya yang dulu senasib dengan mereka. Makan saja susah, apalagi memperoleh pendidikan. Saya dulu hidup dan besar dijalanan, jadi saya tahu bagaimana rasanya,” ujarnya.
Apa yang dikerjakannya terus berkembang, sejak awal dibuka, murid yang mendaftar mencapai 400-an anak, dan hingga kini anak didiknya telah mencapai lebih dari 2.000 orang segala usia.
Saat ini kelas dari tingkat TK, SD, hingga SMA dibuka untuk pagi dan siang hari. Siang hari, diprioritaskan SMA. Malam hari, sekitar pukul 20.00 wib - 22.00 wib giliran kelas yang diikuti oleh pembantu rumah tangga, tukang sapu, pelayan toko, pengasong, dan sebagainya.
“Kelas ini juga kami tambah dengan pelajaran kewirausahawan, ada otomotif, komputer, desain grafis, dan lainnya,” tuturnya.
Pihaknya mengaku tidak pernah membatasi siapa saja yang ingin bersekolah di Sekolah Master, berasal dari daerah mana saja dan berapa pun usianya, penting ada kemauan untuk belajar.
“Kami tidak mengekslusifkan diri, tidak formal dan jauh dari birokrasi sehingga membuat anak-anak nyaman. Yang penting ikut belajar dahulu, persoalan administrasi mengenai asal-usul maupun tetek bengek yang lainnya gampang, bisa menyusul,” tuturnya.
Menurutnya anak-anak jalanan cenderung trauma dengan birokrasi dan antipati terhadap pemerintah. Karena bagi mereka, yang dilayani hanya yang punya duit. Mereka juga menjadi korban dan dikejar-kejar oleh keamanan.
Maka, begitu ada sekolah gratis dan tanpa banyak aturan, menjadi secercah harapan bagi anak-anak seperti Farus dan teman-temannya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.