Bisnis.com, JAKARTA – Program swasembada daging sapi pada 2014 masih menjadi polemik, alias diragukan bisa tercapai.
Namun, Kementerian Pertanian mengungkapkan sebenarnya pasokan daging sapi lokal pada 2014 cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional yang diperkirakan 575.000 ton. Potensi daging dari sapi lokal sebanyak 542.000 ton atau 93% dari kebutuhan.
Kementan meyakini pasokan daging lokal mencukupi asalkan persoalan transportasi dari sentra produksi ke sentra pasar dibenahi.
Beberapa daerah yang selama ini menjadi sentra ternak sapi dan menjadi pemasok daging nasional, yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Di NTB, misalnya berhasil surplus daging dengan program 1 juta ekor sapi. Setiap bulan NTB diketahui surplus 59.000 ekor, sekitar 30.000 ekor dipotong di daerah setempat.
Namun, swasembada sapi di NTB kini menuai persoalan alias dampak samping banyaknya populasi sapi terkait dengan limbah kotoran dan polusi bau. Persoalan ini sudah pasti terjadi di daerah sentra produksi sapi lainnya.
Biogas kotoran sapi
Di Bumi Gora NTB rata-rata ternak sapi mengeluarkan kotoran 4-6 kg per ekor per hari. Artinya, paling tidak ada 4 juta kg kotoran per hari di NTB. Hal ini mengakibatkan pencemaran lingkungan dan menjadi sumber penyakit bagi keluarga peternak sapi ataupun warga sekitar.
Melihat kondisi yang kontraproduktif itu, H. Lalu Yusuf, mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2004-2009 dari NTB mengajak Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma (PSL-USD), Yogyakarta untuk menerapkan teknologi tepat guna, yakni mengubah kotoran menjadi energi.
Bertani dan beternak sudah menjadi budaya mayoritas warga perdesaan di NTB. Sebaliknya, tercecernya kotoran sapi di mana-mana juga dianggap hal yang lumrah, seolah tiada masalah. Bau luar biasa menyengat sudah bisa terhirup sekitar rumah, sekolah, dan tempat ibadah.
Selain itu, penyakit umum yang diderita warga sekitar akibat tercecernya kotoran sapi itu adalah diare dan kulit. Hal itu karena warga terbiasa dan menyatu dengan ternak sapi di dalam rumah alias ‘kumpul sapi’.
“Di NTB ada program bumi sejuta sapi untuk mendukung program swasembada. Populasi dipacu, tetapi limbah tidak dipikirkan. Selain menimbulkan masalah lingkungan, kotoran sapi juga menimbulkan penyakit diare dan kulit,” ujar Lalu Yusuf.
Program pembuatan biogas digester dirintis sejak April 2013 dan sudah bisa dinikmati warga sejak Juli 2013. Hingga Desember sudah ada 11 digester di Kecamatan Sakra Barat, Lombok Timur.
Paling tidak, sambungnya, keberadaan 11 digester biogas itu bisa memberikan manfaat ekonomis bagi daerah yang selama ini tergolong kritis karena hanya mengandalkan hujan (tadah hujan) untuk lahan pertanian.
Gantikan Elpiji
Kristio Budiasmoro, peneliti bidang waste management dan pendidikan lingkungan PSL-USD, menjelaskan program biogas sebenarnya sudah dicanangkan pemerintah sejak 1980-an, tetapi hingga kini belum efektif dan optimal.
“Digester biogas ini merupakan adopsi dari teknologi Jepang yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga bisa diterapkan dengan lebih praktis oleh warga desa,” ungkapnya.
Di Pulau Jawa, sambungnya, sudah dirintis di sejumlah daerah seperti di Sleman, Yogyakarta, Grobogan, Jateng, dan Bojonegoro, Jatim. Namun, teknologi tepat guna itu belum diterapkan secara massal. Salah satu alasannya mungkin karena masyarakat belum menganggap sebagai kebutuhan mendesak.
Teknologi digester ini bisa memproses secara langsung kotoran sapi basah menjadi gas untuk kompor, sehingga mampu menggantikan tabung gas elpiji.
Guna menghilangkan bau, PLS-USD juga memperkenalkan teknologi fermentasi buah untuk menghilangkan bau kotoran sapi di kandang.
Menurut Lalu Yusuf, biaya pembuatan per digester Rp7,5 juta – Rp10 juta. Adapun, warga peternak sapi hanya mengeluar ongkos Rp650.000 hingga Rp1juta bergantung pada kedalaman dan volume digester. Pada umumnya, sebuah digester berukuran 3 meter kali 6 meter dengan kedalaman 2-3 meter.
“Pada tahap awal lubang digester diisi 800 kg atau sekitar 6 kubik kotoran sapi, setelah itu bisa diisi sekitar 20 kg kotoran dari 4-5 ekor sapi,” ungkapnya.
Salah satu warga yang sudah menikmati teknologi biogas itu adalah H. Saleh, warga Desa Rensing, Sakra Barat, Lombok Timur.
Selain bisa menghemat minimal Rp36.000 per bulan untuk membeli dua tabung elpiji 3 kg, dia kini bisa menjual pupuk dari slurry (ampas kering) kotoran dari digester biogas. Pupuk organik itu dijual Rp600 per kg.
Dia juga lebih leluasa berdagang sapi karena kini tidak lagi memikirkan dampak samping dari kotoran ternaknya.
Selain itu, dia kini merintis ternak itik entok dengan memakai slurry sebagai pakan. Tidak hanya beternak sapi, entok juga punya nilai ekonomis karena per ekor bisa dijual Rp100.000.
Jadi, ujar Lalu Yusuf, ide biogas itu bisa menjadi dampak dari swasembada sapi.
Itu juga bisa menjawab tantangan dari budaya warga yakni beternak yang tidak ramah lingkungan menjadi beternak yang sehat dan bernilai ekonomis, harga minyak dan elpiji yang naik, serta kerusakan hutan yang ditebang untuk kayu bakar.