Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harlah ke-80 Tahun, GP Ansor Soroti 3 Masalah Bangsa

Ada tiga permasalahan yang dihadapi bangsa pasca-reformasi 1998. Tiga masalah yang dianggap sangat fundamental itu antara lain, tentang kebhinnekaan, korupsi dan kemiskininan.
Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid /gp-ansor
Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid /gp-ansor

Bisnis.com, SURABAYA - Ada tiga permasalahan yang dihadapi bangsa pasca-reformasi 1998. Tiga masalah yang dianggap sangat fundamental itu antara lain, tentang kebhinnekaan, korupsi dan kemiskininan.

Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid mengatakan masalah kebhinnekaan yang terjadi sekarang ini adalah munculnya kecenderungan sifat kekanak-kanakan dengan mempertentangkan nilai dan tradisi ke-Indonesiaan.

“Padahal sejarah telah memberikan kita sebuah keniscayaan kemajemukan dan kebhinnekaan sebagai bingkai dari bangunan NKRI. Dan seharusnya kita menghargai para pendahulu karena telah menanamkan pondasi kemajemukan itu,” katanya pada Peringatan Harlah ke-80 Tahun Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, Sabtu (4/1/2014).

Dengan kemajemukan itu setidaknya mengandung nilai-nilai untuk saling menghormati, tenggang rasa, toleransi dan menjaga NKRI. Menurut Nusron, masih terjadi pembiaran terhadap kelompok masyarakat yang bertindak tidak Pancasilais mengatasnamakan kepentingan agama dan kelompok, di atas kepentingan ke-Indonesiaan.

“Jangan lupa kita ini orang Indonesia. Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang berada di Indonesia. Kalau kita beragama Kristen, kita adalah orang Indonesia yang beragama Kristen, kalau kita Hindu, maka kita orang Indonesia yang beragama Hindu, begitu seterusnya. Pertanyaannya sekarang seandainya NKRI bubar, kita akan bersedih?” ujarnya.

Nusron menyatakan sikap GP Ansor tegas dan tidak akan berubah, Ansor tidak rela NKRI terkoyak. Ke-Bhinnekaan hilang dari negeri ini. Pancasila dan UUD 1945 lenyap tidak difungsikan sebagai landasan negara. Kendati demikian, GP Ansor akan tetap memberikan kebebasan terhadap seluruh kader-kadernya menjalankan syariat ajaran Islam.

Bagi GP Ansor, lanjut dia, Islam adalah sublimasi untuk ke-Indonesiaan, demikian sebaliknya. Ini artinya, nilai-nilai Islam yang subtantif harus dijadikan perekat untuk memperkuat ke-Indonesiaan. Sebaliknya, kultur dan tradisi ke-Indonesiaan tetap menjadi genre ke-Islaman. Dua pilar inilah, ke-Indonesiaan dan ke-Islaman menurut Nusron, yang juga Anggota Komisi IX DPR RI, sebagai jati diri sehingga bangsa Indonesia menjadi terhormat, bermartabat di mata dunia dan agama lain.

“Ada yang tidak rela dengan keindahan dan kemartabatan posisi Islam Indonesia. Identitas ke-Islaman dimonopoli dengan identitas budaya bangsa lain. Islam dijauhkan dari budaya Indonesia. Dibuat seakan-akan budaya Indonesia bukan bagian dari tradisi Islam,” ujarnya.

Buat Ansor, lanjutnya, upaya meminggirkan tradisi Islam Indonesia dengan dalih memurnikan ajaran Islam adalah bagian dari upaya untuk meminggirkan, melenyapkan Indonesia itu sendiri. Menjadi kewajiban GP Ansor berjihad untuk mempertahankan tradisi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan demi NKRI.

Masalah kedua tentang korupsi, GP Ansor ikut memberikan apresiasi terhadap prestasi aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang serius memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai generasi muda, GP Ansor akan terus memberikan dukungan kepada aparat hukum dan berani menjadi pelopor dalam menciptakan Indonesia yang bersih bebas korupsi.

Terakhir mengenai masalah kemiskinan. Isu ini tetap menjadi agenda jihad GP Ansor. Apalagi kemiskinan terjadi sebagian besar di lapisan masyarakat pedesaan. Dimana disitu merupakan basis warga NU dan Ansor. Pengentasan kemiskinan tidak bisa diselesaikan monopoli pemerintah. Perlu dukungan partisipasi seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali GP Ansor.

Sebagai kekuatan generasi muda, di mana anggota Ansor adalah usia produktif, maka menjadi wajib hukumnya bagi GP Ansor melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.

Masih menurut Nusron, strategi pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan model memberikan bantuan sosial yang masif tidak selektif. “Model ini selalu berujung pada menciptakan masyarakat yang apatis dan tidak kreatif,” tegasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fatkhul-nonaktif

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper