Bisnis.com, JAKARTA - Siapa tak kenal Siti Khadijah, salah satu perempuan yang disunting oleh seorang pemimpin besar Islam yang kini menjadi panutan umat Muslim dunia, Nabi Muhammad SAW?
Dalam sejarah Islam, perempuan ini dicap sebagai tokoh yang mengabdi kepada suami. Siti Khadijah dikenal sebagai perempuan kaya raya yang rela menafkahkan hartanya demi perjuangan Islam.
Hingga kini, kehadiran perempuan memang masih dipandang sebelah mata. Mereka kerap dinomor duakan setelah lelaki. Padahal, kehadiran mereka tak sedikit yang melampaui peran lelaki.
Perempuan masih dianggap kaum lemah yang tak berguna. Bahkan, pada zaman jahiliah, bayi perempuan banyak dibunuh hidup-hidup lantaran dianggap sebagai sebuah aib bagi seorang ayah.
Masih membekas dalam ingatan, kisah-kisah Siti Khadijah yang dipaparkan para ustadz adalah sosok perempuan yang harus diteladani oleh seluruh umat. Siti Khadijah menjelma bagaikan sosok penting bagi kaum perempuan dunia.
Kesabaran, kesetiaan dan dukungan moril serta materil terhadap Nabi Muhammad dalam memperjuangkan Islam tak pernah luntur darinya. Bahkan sejarah mencatat, Siti Khadijah adalah perempuan pertama yang masuk Islam.
Memang, perempuan yang menginspirasi dunia tak bisa dihitung jari. Hellen Keller misalnya, seorang perempuan penyandang cacat yang menjadi panutan bagi kaum tunanetra dan tunarungu dunia. Dalam keterbatasan yang dimiliki, Keller tak pernah patah arang mengejar impiannya menjadi seorang intelektual terkemuka di Amerika Serikat.
Perhatian Keller terhadap penyandang cacat menorehkan sejarah kala dia berkampanye memperjuangkan fasilitas bagi kaum tunarungu dan tunanetra. Bahkan, semasa hidupnya dia pernah diganjar penghargaan melalui film yang dibuatnya berjudul Deliverance pada 1919 dan Hellen Keller in Her Story pada 1954.
Sejarah tak berhenti sampai di situ. Di Indonesia, perempuan yang patut menjadi panutan salah satunya adalah Raden Ajeng Kartini. Perempuan kelahiran Jepara 1879 ini tak lelah mengangkat citra perempuan untuk terus mendapatkan hak pendidikan.
Semangat Kartini terus membara untuk membangun sekolah yang diperuntukan bagi kaum perempuan. Maklum, pada era penjajahan Belanda, saat itu hak pendidikan masih dikebiri. Kartini terus memutar otak agar perempuan bisa mengenyam pendidikan yang layak. Tentunya, bukan hanya Kartini saja yang menjadi sosok panutan perempuan Indonesia. Sederet nama lain seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan lainnya patut diteladani.
Mungkin kita patut bersyukur, di era moderen ini, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) sudah mulai menyebar di segala aspek. Perempuan lambat laun kini tidak disepelekan. Hak perempuan menjadi pemimpin misalnya sudah banyak dijumpai. Perempuan berkarir hingga menjadi seorang pengusaha sudah tidak bisa dihitung jumlahnya.
Dalam dunia seni teater, kita akan segera tahu akan kehadiran sosok perempuan bernama Ratna Riantiarno. Sepak terjang istri sutradara Teater Koma, Nano Riantiarno ini sudah tidak diragukan lagi di dunia panggung seni. Dia kini menjabat sebagai pimpinan produksi Teater Koma—salah satu teater yang masih berdiri hingga saat ini.
Kesuksesan Ratna mengawal panggung seni teater memang tidak terlepas dari sang suami. Tetapi dengan konsistensi yang kuat, dia masih tetap setia mengibarkan bendera Teater Koma selama hampir 37 tahun. “Disebut sukses mungkin karena tetap konsisten saja di dunia teater,” katanya kepada Bisnis.
Ratna mengakui, peran perempuan mau tidak mau masih berada di posisi kedua setelah lelaki. Ihwal perempuan yang bertugas mengurus rumah tangga, mencuci, mengepel, dan menjaga anak masih melekat di kalangan perempuan di Indonesia. Dia sendiri bukan tidak menggugat stigma tersebut. Namun, dia mendorong kaum lelaki agar mau merasakan apa yang dilakukan perempuan di rumah tangga.
Karir Ratna yang dianggap sukses di dunia teater memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Dia sendiri mengaku banyak makan asam garam selama menempuh perjalanan keseniannya. Dia sadar, dunia seni teater memang tidak banyak menghasilkan materi yang besar. Tetapi, dengan rasa cinta dan kesenangan, Ratna terus bergelut di teater.
Keterlibatan Ratna di teater dialaminya sejak sekolah menengah atas (SMA). Di situlah dia mulai mengawali karirnya sebagai aktris panggung. Teater Koma, yang kini dia garap bersama tim seolah menjadi rumah kedua baginya. “Tetapi dari sisi finansial, teater itu tidak besar,” katanya.
Untuk menyiasati kekurangan finansial tersebut, dia rela menyambi bekerja di perusahaan swasta, bahkan bermain sinetron. Walaupun hampir sebagian hidupnya dititik beratkan untuk terus bersama dengan Teater Koma.