Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PBOC tak Bantu Naikkan Cadangan Devisa China

People's Bank of China (PBOC) tidak akan lagi membantu Negeri Panda dalam menaikkan jumlah cadangan valuta asing yang saat ini nilainya telah mencapai rekor tertinggi lebih dari US$3,7 triliun.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, BEIJING--People's Bank of China (PBOC) tidak akan lagi membantu Negeri Panda dalam menaikkan jumlah cadangan valuta asing yang saat ini nilainya telah mencapai rekor tertinggi lebih dari US$3,7 triliun.
 
"Saat ini, China sudah tidak berkepentingan untuk mengakumulasi cadangan devisa," kata Yi Gang, Deputi bank sentral setempat dalam sebuah pidato di China Economists 50 Forum di Universitas Tsinghua, Rabu (20/11).
 
Dia menjelaskan biaya marjinal dari akumulasi cadangan nilai tukar asing telah melebihi pendapatan marjinal.
 
Cadangan devisa telah melonjak dari US$3,5 triliun pada akhir Juni. Itu merupakan pertanda upaya pemerintah untuk melindungi pertumbuhan telah menarik uang, bahkan pada saat negara berkembang lain mulai dari India hingga Indonesia dihantam gelombang eksodus modal (capital outflow).
 
Yi, yang juga Kepala Aministrasi Valuta Asing Negara, menjelaskan bahwa apresiasi nilai tukar renminbi telah menguntungkan banyak orang di China ketimbang membawa kerugian.
 
"Sepertinya banyak pihak di PBOC yang berpikir waktunya telah tepat untuk mengurangi intervensi mata uang," ujar Mark Williams, Kepala Ekonom Asia di Capital Economics Ltd. yang berbasis di London.
 
Namun, lanjutnya, China mendapati dirinya di dalam situasi di mana penghentian intervensi adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Komentar Yi justru akan memperkuat aliran spekulatif ke dalam nilai tukar.
 
Menurut Williams, nilai renminbi akan menukik jika PBOC tidak mengintervensi situasi seperti itu, dan bank sentral China tersebut masih campur tangan pada September untuk mencegah hal tersebut terjadi.
 
MANUFAKTUR TURUN
 
Di lain pihak, indeks manufaktur China turun untuk pertama kalinya dalam 4 bulan, merefleksikan adanya tantangan bagi proses pemulihan negara tersebut di tengah upaya pemerintah untuk menerapkan reformasi kebijakan terbesar sejak 1990-an.
 
Hasil awal indeks Purchasing Managers (PMI) China yang dirilis HSBC Holdings Plc dan Markit Economics untuk bulan ini berada pada level 50,4. Para ekonom yang disurvei Bloomberg sebelumnya memprediksi PMI bertengger pada level 50,8. Hasil akhir bulan lalu adalah 50,9. Indeks di atas 50 menunjukkan adanya ekspansi manufaktur.
 
Melambatnya pertumbuhan manufaktur kian menambah tantangan bagi Perdana Menteri Li Keqiang dalam menjalankan reformasi yang mencakup pelonggaran kendali atas suku bunga dan pemberian hak tanah bagi para petani.
 
Tantangan pertumbuhan diduga kian berat setelah pertumbuhan kredit bulan lalu melambat. Namun, hal tersebut menunjukkan Li serius dalam usaha membendung risiko finansial.
 
"Momentum pertumbuhan China sedikit melunak karena survei tersebut mencerminkan lemahnya permintaan ekspor dan lambatnya fase pemasokan ulang," ujar Qu Hongbin, Kepala Ekonom China di HSBC.
 
Kendati demikian, hasil awal PMI November tersebut masih merupakan yang tertinggi kedua dalam 7 bulan terakhir. Rendahnya tekanan inflasi dapat memberi ruang bagi Beijing untuk tetap mempertahankan kebijakan yang akomodatif bagi pertumbuhan. (Bloomberg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ismail Fahmi
Sumber : Newswires
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper