Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Luhut Pandjaitan: "Saya tak Ada Niat Mengontrol Inalum, Saya tak Serakah"

Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan adalah seorang jenderal bintang empat Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus AD). Dia menjelma menjadi pebisnis sukses dengan mendirikan PT Toba Sejahtra. Dia memiliki 99,98% saham PT Toba Sejahtra. Luhut ingin membeli PT Inalum, berikut petikan wawancara lengkapnya.

Bisnis.com, MEDAN - Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan adalah seorang jenderal bintang empat Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus AD). Dia menjelma menjadi pebisnis sukses dengan mendirikan PT Toba Sejahtra. Dia memiliki 99,98% saham PT Toba Sejahtra.

Sebagai pria Batak kelahiran Simanggala, Tapanuli pada 28 September 1947, Luhut juga pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada periode Presiden Abdurrahman Wahid. Kini, namanya disebut-sebut sebagai salah satu peminat saham PT Indonesia Asahan Aluminium bersama Pemerintah Daerah Sumatra Utara.

Luhut mengaku sangat menginginkan untuk mengakuisisi saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Dia menuturkan keinginan untuk mengakuisisi saham PT Inalum agar menjadi model bagi perusahaan-perusahaan konsesi asing di Tanah Air.

Jika format akusisi yang terjadi pada PT Inalum berhasil dengan baik, dia berharap perusahaan-perusahaan asing seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara dan Blok Mahakam dapat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Melalui perusahaan yang didirikannya, PT Toba Sejahtra, Luhut membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Pemerintah Daerah Sumatra Utara untuk mengelola Inalum. MoU tersebut berupa pembentukan perusahaan patungan dengan pihak Toba Sejahtra akan mendanai sejumlah kebutuhan akuisisi dan pengembangan Inalum.

Bisnis berkesempatan mewawancara Luhut Pandjaitan di kantornya, Wisma Bakrie 2 Lantai 17 di Jalan HR. Rasuna Said, pada Jumat (1/11/2013). Dia ditemani oleh salah satu pejabat Toba Sejahtra, Bambang Irawan, yang khusus menangani rencana akuisisi saham PT Inalum. Berikut wawancara lengkapnya :

Seberapa besar ketertarikan Anda terhadap PT Inalum?

Begini, pertama kami sudah kerjakan dengan Pak Bambang sejak 3 tahun yang lalu. Mundur lagi, waktu saya menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan, saya dulu melihat bahwa ada yang kurang beres dengan Inalum. Kenapa kurang beres? Dalam perjanjian, makannya saya dulu membuat tim untuk melakukan evaluasi terhadap Inalum. Karena tidak ada untungnya buat Indonesia, karena kalau dilihat pada bukunya Inalum pada 2002-2003, itu tidak untung.

Untungnya Inalum baru 3 tahun terakhir, padahal sudah beroperasi sejak 30 tahun lalu. Untung itu sebenarnya yang paling penting bukan hanya ke pemerintah pusat, tetapi juga ke daerah. Daerah ada 9 kabupaten yang bersinggungan dengan Danau Toba itu termasuk dalam peta kemiskinan. Dimana PAD saya kira Rp5 miliar-Rp10 miliar.

Menurut saya tidak adil juga. Pernah harga aluminium hampir US$3.000-US$4.000, mereka tidak menikmati marginnya. Kedua listriknya kan 600 MW, listrik itu per Kwh-nya mungkin Rp100, padahal kalau dijual ke PLN bisa mungkin 5 sen, kan 4-5 kali. Dari situ daerah harusnya bisa menikmati.

Tapi yang terjadi di sana, listrik pun mati seperti minum obat sampai 3-5 kali sehari. Jadi ada sesuatu yang tidak imbang. Oleh karena itu saya bilang, saya dengan Pak Bambang dan tim berdiskusi, bagaimana ini? Kenapa kita tidak masuk? Oleh Pak Bambang dipelajarilah master of agreement secara detil. Segala macam peraturan-peraturan yang itu kita tau sepakat 31 Oktober 2013 habislah kontrak itu. Dan 1 November 2013 secara resmi Inalum sudah kembali ke tangan Indonesia. Yang 58,88% sudah milik Indonesia.

Dalam perjalanan itulah, kami menggandeng 9 kabupaten plus 1 kota Asahan, dengan Batubara dan Pemda Sumut. Itu jamannya pak Gubernur Syamsul. Ditandatanganilah perjanjian tahun 2011 di Medan. Kemudian kita dorong pemerintah, saya lapor ke presiden, Menko Perekonomian dan Menteri Perindustrian.

Persoalannya adalah, kalau Pemda dari mana dananya? Kemudian Pak Bambang bertemu dengan bankir-bankir. Kemudian bankir itu mau memberikan letter of intent kepada kita sejumlah uang yang dibutuhkan untuk pengambilalihan Inalum plus rencana pengembangan smelter dan pengembangan listrik. Jadi dari masalah itu kita tidak ada masalah. Bagaimana format kerjasamanya? Kita buat 80%:20%, dan sudah kita sampaikan kepada Pemda. Dan itu kita mau dibuat perjanjian tertulis.

Tapi dalam perjalanan waktu, kenapa mau 80%:20%, karena kami menggunakan Toba Sejahtra sebagai bridging kepada bank. Karena bank percaya kepada kami. Supaya uang itu dapat, tapi seiring berjalannya waktu, Pemda bisa jadi mayoritas, bisa karena dia IPO, atau dia bayar dengan dividen, jadi tidak ada keinginan grup kami untuk menjadi mayoritas sepanjang masa. Karena ini saya ingin jadi model pada pengambilalihan asset kerjasama asing di daerah lain sehingga daerah menikmati.

Itu sebabnya saya mengusulkan daerah itu harus menjadi mayoritas. Jangan jadi pemerintah pusat karena kalau pusat, di daerah akan tetap jadi peta kemiskinan. Peta kemiskinan yang paling cepat membantu itu salah satunya dengan ini. itu akan jadi bagus, itu spiritnya. Kalau ini bagus, kita ingin jadi model, karena banyak sekali aset-aset negara.

Ada namanya Mahakam, ada namanya Freeport, Newmont, spiritnya daerah harus dibantu. Bahwa awalnya itu tadi investor, jangan dilusi-dilusi, kampungan itu. Daerah meski tidak punya dana, dia bisa bayar dengan dividen itu. Dia bisa bayar dengan right issue, bisa dengan buyback. Pokoknya jangan ada dilusi-dilusi, karena dilusi itu penipuan menurut saya, karena kita bekerja dengan Pemda jadi spiritnya itu penting. Saya kan bikin untung juga, masa mau untung sendiri, daerah dapat apa? Kalau saya untung bisa sendiri, daerah kan bisa beberapa juta orang yang menikmati. Nah, sprit semacam ini kita tularkan ke daerah lain. Jadi tidak ada ngotot-ngototan. Kita rasional sekali melihatnya, kalau benar pemerintah ingin daerah itu sejahtera.

Bagaimana cerita awalnya? (Bambang Irawan menjelaskan)

Pada 2009 kita tandatangan MoU, tidak ada swasta lain yang berniat, jadi Pak Luhut berinisiatif, total Toba Sejahtra. Jadi kita berinisiatif mengumpulkan kabupaten/kota untuk menandatangani MoU. Kedua, dilanjutkan beberapa kali meeting, intensif dengan DPRD dan Gubernur, terakhir di Pematang Siantar. Intinya memperjelas posisi dimana Pemda dan swasta. Intinya ada niat bagus sebagai model supaya ada peningkatan pendapatan daerah yang signifikan dari sekarang.

Kalau tidak begitu tidak akan dinikmati oleh masing-masing Pemda. Fokusnya seperti itu. Goal pertama dari keinginan daerah sudah tercapai, karena Inalum ini sudah diambilalih pemerintah. Akhirnya tinggal pembicaraan pemerintah pusat dengan daerah.

Kedua adalah Pemda mungkin karena keterbatasan dana jadi butuh swasta, tetapi skema yang ditawarkan tadi misalnya nanti dia menjadi mayoritas pemilik, kedua kalau dimungkinkan dengan RUPS artinya dividen yang diambil setiap bulan kalau dia tidak ambil dulu bisa jadi equity dia, ada juga parking fund sekitar Rp700 miliar dan itu menjadi kontribusi Pemda dalam hal ini sudah ada cadangan dana dari pemerintah pusat dimana bisa kontribusi ekuitasnya, itu kalau dalam skema bisnis. Kalau ada pernyataan apa

Pemda punya uang atau tidak, sebenarnya sudah siap. Karena swastanya juga sudah siap membantu. Skemanya ada mutual bisnis, skema bisnis yang saling menguntungkan. Jadi nanti dibuat saja skemanya bahwa disatu titik Pemda bisa menjadi major player, itu bisa dimungkinkan.

Lalu swastanya mundur, setelah memperoleh keuntungan. Itu tinggal masalah waktu karena ini bukan konsesi, bukan eksplorasi, ini adalah pabrik, jadi skemanya adalah bisnis. Kalau dicampuradukkan dengan aturan energi dan lain-lain itu tidak kena. Karena ini adalah pabrik, jadi pabrik yang sudah jalan lalu diambilalih oleh pemerintah pusat. Harusnya bicara business to business. Jangan bicara dari approach yang bukan B to B. Karena Inalum suatu pabrik dimana menjadikan bisnis produk. Yang diambilalaih Pemda kan holdingnya, yang menjadikan bisnis dari hulu sampe hilir.

Luhut jadi inisiator melalui Toba Sejahtra, apakah ada swasta lain yang ikut di dalamnya?

Inisiatif pertama tetap Toba Sejahtra, Apemindo baru muncul beberapa bulan terakhir. Sebenarnya pada MoU 2009 tidak ada Apemindo dan lain-lain. Makannya tidak ada yang memberikan inisiatif. Seiring berjalannya waktu setelah kita masuk, mulailah bermunculan ada Apemindo dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini bisa diatur, caranya dengan skema bisnis, mereka masuk. Kita bicara dengan Pemda berapa, kalau dia siap masuk juga harus bawa juga dong, tidak gratis.

Dia harus siapkan modal, tunjukkan sama-sama tanggungjawabnya, jadi jelas karena ini bisnis. Ini industri, tetap harus berjalan, karena jangan sampai setelah masuk bisnis tidak jalan. Intinya adanya letter of intent dari beberapa bank asing yang mau masuk melalui Toba Sejahtra. karena Toba Sejahtra sebagai penjamin obligasinya. Jelas kita meminta saham lebih besar karena kita yang menjamin, risiko ada di kita. Setelah BEP ya kita kembalikan lagi uangnya. Cuma pada saat kita menjalankan ini berarti risiko ada di kita. Kalau mereka mau masuk ya harus tanggung risiko juga.

MoU dengan Pemda itu dengan membentuk usaha patungan berupa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)?

Konsepnya kan Pemda tidak boleh berbisnis. Pemda itu harus bentuk perusahaan daerah, akhirnya harus membentuk Perusda. Dari konsep Perusda itulah bekerjasama dengan kita, baru kita ke bank. Bank tidak akan memberikan pinjaman langsung ke Pemda, jaminannya apa? Ini B to B, ini harus ada pegangannnya. Kalau tidak ada badan hukum ya bank tidak akan memberikan pinjaman. Makannya pinjaman ke joint venture, didalamnya ada Pemda dan swasta.

Dalam joint venture itu baru kita ngomong ke bank, kebetulan Toba Sejahtra sudah mendapat letter of intent dari dua bank BNP Paribas dan Deutsche Bank. Keduanya memberikan letter of intent, untuk pengambilalihan plus pengembangan. Jadi ambil alihnya harus melalui kami bersama-sama dengan Perusda. Perusda itu kepanjangan dari Pemda.

Apakah saat MoU tadinya hanya dua pihak saja, Toba Sejahtra dan Pemda?

Iya, Pemda membentuk Perusda dulu, baru dengan kita. Nanti didalamnya mau ada Toba Sejahtra, ada Apemindo, terserah. Nanti bikin joint venture lagi. Itu pada 2010, angkanya masih belum jelas, mereka belum mengaudit. Waktu itu angkanya masih prediksi sekitar US$518 juta, itu letter of intent nya, pengambilalihan diperkirakan sebesar itu saat 2010. Tapi tidak jauh dari hitungan BPK sekarang US$558 juta, beda sedikit. Jadi espektasi mereka segitu, sudah bagus.  Dana itu untuk ambil alih, belum termasuk pengembangan. Dilihat cash flow nya dulu, ada penambahan dana Capex-nya.

Sekarang DPR dan pemerintah merestui Pemda untuk memiliki saham Inalum maksimum 30%, bagaimana dengan itu? (Luhut menjelaskan)

Saya kira belum bilang maksimum 30% karena sekarang kan dibawah Kementerian Keuangan. Tetap mereka meminta mayoritas pemerintah pusat, kita hargai itu. Tetapi yang kita himbau sebenarnya ini kalau pemerintah serius membantu Pemda mengentaskan kemiskinan salah satu caranya dengan ini. Ini membuat PAD bagus, kalau nanti listrik additional tambang katakanlah 300-400 MW, itu revenue mereka tinggi lagi.

Kalau di IPO-kan bisa US$2 miliar perusahaan itu, mereka ada disitu. Daerah memiliki sesuatu yang selamanya, kecuali kalau air Danau Toba tidak ada lagi. Karena apa, smelter itu baru bisa menguntungkan kalau harga listriknya 4 sen per Kwh, maksimum. Yang bisa mencapai 4 sen itu hanya air dan nuklir, tapi kita belum punya nuklir. Jadi supaya jelas dulu. Daerah ini tidak punya minyak dan gas. Apa pendapatan dia? Pemda hanya mempunyai Danau Toba. Jadi menurut saya hal-hal semacam ini harus dihitung.

Pemerintah dan DPR kan sudah menyepakati bahwa Pemda hanya dibolehkan memiliki saham Inalum 30%?

Belum pernah disepakati , hanya pemerintah pusat ingin mengambil maksimum 70%. Daerah boleh dong ngomong? Masa pemerintah pusat yang ngatur saja. Boleh dong ‘anak’ meminta kepada ‘bapak’ nya. Dananya tidak ada masalah, kita mengambil 70% saja bisa, dengan skema yang sudah disepakat dengan Pemda. kami sudah bertemu berkali-kali.

Misalnya skema pemerintah dan dpr menyepakati untuk harga yang penting kembali ke Indonesia, urusan kembali ke daerah atau BUMN berarti masih ada peluang?

Iya. Kami berbicara dengan orang-orang terkait, masih ada peluang untuk itu. Saya sebagai orang daerah ingin juga daerah saya makmur. Saya tahu itu bisa. Kita tidak punya keinginan untuk mengontrol itu, kita nggak rakus. Tapi jangan hanya daerah ini dengan alasan tidak punya uang jadi dimarginalkan, jangan dong.

Berarti bisa dibilang karena Anda sebagai putra daerah?

Satu iya. Tapi saya ingin menjadi bisnis model yang bisa dijadikan contoh perusahaan lain. Negeri ini supaya lebih maju lagi, bukan ingin sok idealis, tapi saya ingin mengatakan saya juga ingin 'make a good money'. Dengan saya jadi minoritas, tapi daerah juga menikmati. Berapa juta orang yang bisa menikmati, kalau Toba Sejahtra yang menikmati, hanya saya yang menikmati. Kalau Pemda, akan banyak, pendidikan lebih bagus lagi, peta kemiskinan bisa lebih baik.

Skema tadi, awalnya 80%:20%, semakin lama daerah akan jadi mayoritas, nanti bisa ada jajaaran direksi yang bisa berdampak langsung. Skema pembayaran pinjamannya bagaimana yang ditawarkan oleh Toba Sejahtra?

Ada beberapa skema, missal dengan IPO, bisa dengan right issue, bisa dengan skema lain, bisa dengan dividen dia. Intinya akan kita giring sampai Pemda jadi mayoritas. 

Dari awal Toba Sjeahtra ingin memberikan seluasnya untuk Pemda?

Iya, itu saya ingin dibuat secara tertulis. Agreement tidak verbal, kalau verbal nanti kalau saya mati bisa digugat, tapi kalau tertulis harus dihormati. Skema seperti ini menurut saya harus dikembangkan. Jangan hanya memikirkan dirinya saja.

Track record Inalum sendiri, apakah pembayaran pinjaman ke bank tersebut melalui dividen?

Bisa dengan IPO.

(Bambang) Pada prinsipnya bank punya aturan sendiri, ada seniornya dulu yang dibayar, ada hirarkinya. Baru net ini bisa dari dividen, equity, yang dibagikan ke Pemda. Dari net cash misalnya pengambilalihan ini bukan green field, ini sudah berjalan. Bank juga tidak akan semena-mena memberikan pinjaman, mereka ngitung-ngitung.

(Luhut) Ada banyak pilihan, peluang banyak. Hanya saya tidak mau buka dulu. Sekarang kalau lihat buku Inalum, dividennya saja US$100 juta, sudah banyak yang bisa segera diberikan ke daerah, untuk bayar atau untuk PAD.

Bisa 50% dividen untuk beli, 50% dividen untuk masyarakat?

Dari bisnis saja sudah bisa dilakukan. Kita sudah pikirkan itu, kalau US$18 juta itu cukup. Lalu bagaimana pembagiannya, kita minta konsultan dari BNP Paribas untuk melakukan penilaian, berapa persen untuk masing-masing kabupaten/kota dan Pemprov. Konsultannya independen, bukan saya. Karena saya orang Batak saya ingin semua professional, ini juga mendidik biar tidak ada kelompok-kelompok di tanah Batak, semua dihitung secara professional. Itu mendidik, jangan ada curiga-curiga. Kenapa saya mau IPO, supaya tadi itu semua sistem terbuka semua. Siapa saja bisa akses kepada laporan keuangan Inalum.

Kalau semua bisa berjalan sesuai dengan rencana, akhirnya rencana IPO agar transparan dan Pemda bisa menikmati?

Tepat sekali, sekarang kalau dirancang lagi, hydropower, sekarang yang masih digunakan 800 MW, bisa didesain lagi sampai 1.000 mw. Itu bisa jadi uang lagi, daerah bisa menikmati lagi. Jangan hanya daerah penghasil minyak dan gas saja yang memiliki revenue bagus, ini bisa juga. Bagaimana caranya, dikonstruksi lagi, kan masih bagus. Belum hilirisasinya. Itu baru bisnis utama. Belum bicara tradingnya. Kalau trading bisa dipegang perusahaan lagi, itu akan 'make a good money' juga. Jadi ini menurut saya pemerintah harus lebih transparan lagi bahwa daerah bisa menikmati lagi, itu mimpi saya terus terang.

Pengembangan untuk ke depan dari Inalum jika Toba Sejahtra jadi bersama Pemda mengelola Inalum, dari SDM dan teknologi, apakah yakin dengan kualitas Indonesia?

Yakin, seperti Pak Bambang ini. Apa kurangnya? Dari Indonesia kerja di Los Angeles, dihormati. Kita saja kadang-kadang yang tidak menghormati dan yakin kualitas negeri sendiri. Saya 8 tahun membentuk perusahaan semuanya orang Indonesia. Toba Sejahtra bisa menjadi top 50 versi Forbes. Bahwa nanti ada beberapa SDM dari bule untuk hal-hal tertentu tidak apa-apa. Tapi ini bukan high tech, smelternya malah teknologi 30 tahun lalu.

Kita mencari untuk ditingkatkan smelternya, di upgrade. Kalau teknik untuk keluar angkasa mungkin kita butuh bule-bule, tapi kalau hanya gitu saja, orang Indonesia tidak mampu, malu banget. Saya selalu pakai logika 250 juta penduduk Indonesia masa 0,5% tidak ada yang bisa. Kebanggaan penting juga, jangan hanya bule-bule dan Jepang-Jepang. Masa 30 tahun tidak belajar juga. Alangkah bodohnya negeri ini tidak belajar juga. Kalau uang Pemda banyak, pendidikan akan semakin bagus, nanti ada yang menangani hydro power, ada yang khusus menangani ingot.

Selama ini kan kita bahan baku impor dari Australia, sekarang tinggal di Kalimantan Barat, kalau sudah jelas, ambil dari sana, bisa memanfaatkan dari Inalum untuk jaminan ke bank bisa. Inalum bisa jadi pemilik saham di Kalbar, sebagai konsekuensi mengambil bahan baku dari sana. Bisa 200.000 atau berapa. Jadi Inalum bisa kemana-mana, daerah bisa kaya. Itu upstream, belum bicara downstream, ini gurita besar. Daerah akan menikmati.

Saya dari awal 58,88% itu daerah yang memiliki, daerah akan mengontrol penuh. Sekali2 daerah harus mengontrol penuh. Dibilang takut, tinggal di IPO, selesai, tidak akan dicuri-curi. Dari awal saya bilang 58,88%, tapi saya tidak mau berkelahi dengan pemerintah, tapi tolong pemerintah baca itu, ada mimpi dan idealisme daerah. Tidak ada niatan Toba Sejahtra untuk mengontrol, tidak. Saya sudah kaya.

Kalau di IPO nanti dijual ke asing? berapa besar yang akan dijual ke publik?

Tidak. Bisa sampai 20%, tergantung nanti akan dikembangkan sejauh mana. Uangnya nanti untuk pengembangan, jangan digunakan untuk yang lain-lain. Jangan semuanya, bisa dari 5%-20%, karena pasti harganya sudah sangat mahal, bisa diprediksi sampai US$1 miliar – US$2 miliar. Sekarang ini diperkirakan US$1 miliar, kalau ditingkatkan sampai 2 kali lipat, bisa jadi US$2 miliar. Itu biar Pemda yang menikmati. Pemda 58,88% dia memiliki perusahaan dengan asset US$1 miliar - US$2 miliar. Berapa jika dibagi beberapa kabupaten, kita hanya jembatan saja, kita jadi minoritas tidak apa-apa.

Kalau bisnis downstream sektor aluminium?

Kebutuhan Indonesia 1 juta ton ingot, dari Inalum kita hanya 250.000 ton ingot, sisanya diimpor. Katakanlah kita Inalum ditingkatkan ke 500.000 ton ingot, itu masih kurang. Memang betul, China juga mengembangkan pabrik aluminium. Tapi menurut saya kalau kita manage dengan benar harga kita bisa bersaing dengan China, karena dia pasti menggunakan batu bara. Sehingga cost dia per Kwh listrik lebih mahal. Nanti ujung-ujungnya efisiensi, kalau mau survive harus efisiensi. Inalum harus efisien, supaya efisien harus IPO, setelah IPO tidak bisa main-main karena publik baca laporan keuangannya.

Dari sisi upstream dan downstream pasarnya besar?

Captive, kalau pemerintah menilai daerah tidak punya dana, itu seperti mendown-grade daerah, tidak ada keberpihakan.

(Bambang) Pengambilalihan itu ada kontrak-kontrak, tinggal kita kalau bisa memenuhi itu, sudah ada produksi dan longterm kontrak, tidak ada gap. Tinggal efisensi manajemen, kalu kita ambil alih, produksinya bagus dan efisiensi manajemen pasti akan bagus. Kita bisa develop. Kok, 3 tahun terakhir bisa untung, tapi 30 tahun tidak untung? ada yang aneh.

(Luhut) Itu bankers yang ngomong, saya kan mantan tentara, saya bilang kok bisa?

Target IPO kapan setelah diambilalih sampai masa IPO paling ideal?

(Bambang) BEI punya aturan, minimum 3 tahun harus profit, kita bersukur 3 tahun terakhir sudah menguntungkan, tinggal timming issue, kita sudah memenuhi standar. Kalau 3 tahun IPO kalau sudah revenue, tinggal kemauan kita saja. Misalnya sekarang kita reorganisasi tahun ini, pembenahan. Dan IPO harus siap, pembukuan harus profit, lihat forecast pembukuan, baru kita apply ke BEI,

(Luhut) Paling tidak 2 tahun dengan buku yang sudah profit, 2-3 tahun sudah bisa. Daerah bisa langsung bayar hutang, jangan dibuat bodoh daerah, ini bukan green field, kalau green field butuh berapa tahun. Ini saja pabrik tetap jalan. Hanya saja saya minta kemarin  kalo kita beli ini harus harga buku plus cost of fund. Jangan dibikin market price, kalo market price matilah daerah, masa pemerintah pusat ambil untung dari daerah. Sekarang berapa dolar, itu juga ketinggian. Labour plus cost of fund. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper