Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam akun twitter resminya @mohmahfudmd memposting beberapa kicauan terkait kisah keluarganya yang diteror pada Pemilu 1971.
Bagaimana teror tersebut dirasakan oleh keluarga pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 56 tahun lalu itu. Berikut postingannya:
- Kebijakan monoloyalitas yang mewajibkan PNS memilih Golkar pada tahun 1971 itu terkena juga pada ayah saya yang PNS. Padahal ayah saya adalah aktivis NU.
- Maka ayah saya membangkang. Ayah saya menyatakan sikap, pemilu itu hak untuk memilih secara bebas. Ayah melawan Golkarisasi. Ayah berkampanye untuk NU.
- Tahun 1971 NU adalah partai politik peserta pemilu. Saat pemerintah dan aparat mengintimidasi rakyat agar milih Golkar, ayah saya berkampanye untuk NU.
- Ayah saya diteror, di kantor diisolasi dan dikeroyok secara politik oleh Camat, Koramil, Poresk, dan lain-lain. Tapi ayah saya terus mengampanyekan NU.
- Saat pemilu ayah saya sperti dilempar ke situasi sulit. Sebagai PNS dia dijadikan ketua KPPS, kelompok Panitia Pemungutan Suara. Anggotanya 12 orang.
- Ayah saya ditugaskan memimpin TPS yang hampir dapat dipastikan pemilihnya NU semua. Jadi sebagai PNS dia diuji, apakah bisa memenangkan Golkar atau tidak.
- Ketika hari H, saat pencoblosan akan dimulai, ayah saya membacakan pidato resmi dari pemerintah. Intinya, setiap rakyat bebas untuk memilih partai.
- Oleh ayah saya pidato itu ditambah dengan kalimat "Termasuk memilih NU. Yang memang NU ya memilih NU saja". Kalimat itu ditambahkan oleh ayah saya.
- Apa hasilnya? Ternyata di TPS itu semua pemilih memilih NU. Golkar hanya mendapat 3 suara untuk DPR Pusat dan mendapat 4 suara untuk DPRD.
- Itu berarti dari 12 anggota KPPS pun hanya 3 atau 4 yang pilih Golkar. Padahal mereka PNS & Hansip. Mudah disimpulkan, ayah tidak memenangkan Golkar.
- Tugas pemilu yang kalahkan Golkar itu membawa petaka kecil di rumah. Malamnya ayah saya djemput oleh P. Syukur & P. Gani dari Koramil Kec. Waru.
- 12 anggota KPPS itu ditahan karena dianggap membangkang kepada pemerintah. Esoknya ayah saya bilang, biar dia ditahan sendiri saja karena dia ketuanya.
- Ayah saya ditahan 2 minggu. sejak itu sensitivitas politik saya tumbuh. Dibawah sadar saya sudah mulai berpikir tentang gap antara politik dan konstitusi.
- Pergulatan antara politik dan konstitusi itu terus bekerja di bawah sadar saya sehingga meski tak dicitakan akhirnya saya bergulat di bidang politik dan konstitusi.
- Drama pemilu 1971 yang menimpa keluarga saya sungguh melukai hati saya. Itu menyebabkan saya sensitif dan selalu memprotes ketakadilan dan kesewenang-wenangan.
- Dengan hati luka dan marah kepada ketidakadilan & kesewenang-wenangan saya terus bersekolah di PGA. Saya terus belajar bersama sahabat saya Minhaji dan Hafandi.