Bisnis.com, JAKARTA - Dengan dalih stabilisasi harga kedelai pemerintah mengeluarkan paket kebijakan pembebasan bea masuk impor kedelai hingga 0% dan berupa pemberikan kemudahan impor bagi bulog, BUMN, Koperasi dan swasta.
Volume impor pun ditambah hingga 1,1 juta ton untuk tahun ini. Kebijakan ini sungguh menunjukkan kegagalan pemerintah. Demikian pandangan Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP).
“Kebijakan ini jelas menunjukkan pemerintah tidak berpihak ke petani produsen kedelai dalam negeri. Penghapusan tarif impor hanya akan menempatkan kedelai lokal dan petani makin tersudut. Harga turun, produksi berkurang, akhirnya akan semakin jauh dari kata swasembada dan berdaulat pangan” ungkap Said.
Pemerintah gagal menjalankan undang-undang terkait pangan yang mengamanatkan perwujudan kedaulatan pangan. Alih-alih memberikan dukungan penuh pada petani kedelai, pemerintah justru tunduk pada tekanan importir dan pedagang. Kenyataan ini tak hanya menunjukan ketidakpedulian pemerintah pada petani juga menunjukkan kegagalan pemenuhan janji swasembada kedelai tahun 2014.
Dwi Andreas Santosa, akademisi IPB menyatakan bahwa ketergantungan pada impor membahayakan Indonesia. Kita harus mandiri dan berdaulat. Bukan sebaliknya malah mengabdikan diri pada rezim perdagangan internasional. “Tergantung pada impor bisa merugikan bangsa ini karena diatur oleh negara lain. Dalam jangka panjang kedaulatan bangsa ini benar-benar bisa hilang” ujarnya.
Dukungan pemerintah pada petani kedelai mutlak diperlukan jika ingin mencapai swasembada kedelai. Pemerintah harusnya mau dan mampu melakukannya. Negara maju seperti amerika saja tahun 2012 mengalokasikan 172 milyar USD untuk menyubsidi petaninya. Subsidi diberikan mulai dari input produksi hingga perlindungan harga bahkan bea ekspor produk petani.
Sementara itu Saikhu, petani kedelai dari Nganjuk mengungkapkan bahwa jaminan harga dari pemerintah mutlak diperlukan untuk meningkatkan minat petani menanam kedelai. “Sekarang petani lebih banyak menanam jagung karena harganya bagus. Kedelai harganya jauh dari menguntungkan. Kadang modal saja tidak kembali” tegasnya.
Mengomentari berlakunya harga beli petani sebesar Rp. 7.000/kg, Timin Kartodihardjo, petani kedelai Nganjuk menilai tidak akan menggerakan petani. Seharusnya harga kedelai itu 1,5 kali harga beras. Dengan harga itu petani kedelai baru bisa untung.
“Harga itu terlalu kecil. hitungan kami di Nganjuk biaya produksi perkilogram mencapai Rp 7.150/kg. Dengan harga beli seperti itu petani malah rugi Rp 150/kg” ujarnya.
“Gak usah dibuat program atau apapun tapi asal ada jaminan harga maka petani akan menanam sendiri, karena petani sudah mahir dalam berbudidaya karena pengalamannya,” ungkap Mujiwanto, petani dari Demak.
Menurutnya para petani punya kemampuan teknis baik. Hal ini mendorong produksi yang baik. Dari pengalamannya, produksi kedelai petani sebenarnya cukup baik untuk varietas genjah seperti wilis dan anjasmoro produksi sampai 3 ton/ha. Karena tak ada insentif harga maka produksi tinggi jadi tidak bermakna dan menjadi daya tarik bagi petani.
Pencapaian sawsembada dan kedaulatan pangan tak ada jalan lain selain memberikan dukungan dan perlindungan penuh pada petani.
“karena itu kami menuntut pemerintah berpihak kepada petani dengan mencabut kebijakan impor besar-besaran. Kebijakan yang dibuat harus komperhensif hulu hilir dan berikan jaminan harga yang menguntungkan menurut petani” ujar Said.
Tanpa itu, mimpi swasembada dan berdaulat pangan hanya tinggal mimpi!
Pengirim:
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), IPB, dan Jaringan Petani Kedelai