Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gapki Riau Sambut Positif Insentif Biodisel

 Bisnis.com, PEKANBARU—Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau merespons positif paket kebijakan ekonomi pemerintah mengenai rencana insentif penggunaan energi terbarukan biodisel untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi

 Bisnis.com, PEKANBARU—Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau merespons positif paket kebijakan ekonomi pemerintah mengenai rencana insentif penggunaan energi terbarukan biodisel untuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar, sepanjang harganya nanti mengikuti pasar internasional.

 Wisnu Oriza Suharto, Ketua Gapki Riau, mengatakan perusahaan kelapa sawit di Riau sudah siap dengan kebijakan yang mendongkrak penggunaan energi terbarukan biodisel. Masalahnya, katanya, kurangnya insentif dari pemerintah sehingga harga tidak bisa bersaing dengan harga internasional. 

 “Saat ini harga jual CPO Rp7.000 per kilogram, sementara solar berubsidi hanya sebesar Rp5.500 per liter. Jika tidak ada insentif yang diberikan pemerintah, maka kalangan pengusaha tidak akan tertarik,” jelasnya, hari ini.

 Pemerintah saat ini mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi, salah satunya insentif penggunaan bahan bakar terbarukan biodisel. Dalam beberapa tahun terakhir, kata Wisnu, penggunaan biodiesel terbatas hanya untuk kebutuhan perusahaan sendiri seperti mesin-mesin pabrik atau pengganti bahan bakar jenis solar dengan harga beli industri.         

Sejumlah pabrik biodiesel di Riau telah berdiri, seperti yang ada di Kota Dumai dan menjadi salah satu anggota Gapki Riau, kemudian pabrik biodiesel milik Asian Agri Group. Sebagai informasi, total di Riau sudah ada empat pabrik biodisel.  Meski demikian, penggunaan biodiesel untuk dalam negeri yang masih terbatas karena dilanda sejumlah masalah di antaranya harga jual solar bersubsidi tidak sesuai dengan harga minyak sawit mentah (CPO).

 “Sementara ini, selain digunakan untuk pribadi, mereka lebih banyak ekspor dari pada dijual ke dalam negeri karena harganya kurang kompetitif,” jelasnya.

 Menurut Wisnu, persoalan kebijakan ini harus dilihat juga marginnya. Sudah bisa dipastikan, lanjutnya, biodiesel tidak menguntungkan, kecuali ada insentif pemerintah bagi perusahaan yang mau lebih aktif di industri hilir kelapa sawit.

 Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulher sepakat harus adanya insentif untuk perusahaan kelapa sawit. Akan tetapi, perusahaan juga harus lebih kreatif dan tidak berhenti pada produksi biodisel tapi hasil turunan lainnya.

 Zulher menghimbau kepada seluruh perusahaan yang memiliki PKS di Riau, harus cepat membuat produk turunan kelapa sawit sehingga akan terciptanya pabrik baru yang akan menimbulkan multiplayer effect yang lebih luas.  “Jika itu yang mereka lakukan, bayangkan berapa tenaga kerja yang terserap, permintaan CPO dalam negeri akan meningkat otomatis harga TBS ikut naik, sehingga pendapatan masyarakat ikut naik dan kesejahteraan petani mudah tercapai,” jelasnya.

 Menurutnya para perusahaan yang memiliki PKS tidak kreatif dan hanya mengandalkan ekspor CPO. Dengan pelemahan rupiah, katanya, negara akan semakin rugi terutama dalam melakukan impor yang berbahan baku CPO. “Perusahaan jangan seperti orang berdagang beras, panen lalu jual. Seharusnya, mereka memikirkan untuk menciptakan bermacam-macam produk turunan, sehingga daerah merasakan dampaknya baik dari segi tenaga kerja dan pendapatan,” tegasnya.

 Menurut Muchtar Ahmad, pengamat ekonomi Universitas Riau, pemerintah Riau harus segera menargetkan pembangunan industri hilir terutama untuk produk unggulan Riau.

 Sekrang, katanya, Riau masih mempunyai bahan baku yang melimpah baik sektor pertanian dan energi, tetapi puluhan tahun kedepan jika tidka dipersiapkan, Riau akan gigit jari.

 Pecanangan Riau, katanya, sebagai kawasan perekomian perbatasan ini juga didukung oleh kondisi Riau sebagai daerah perkebunan sawit terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 2,6 juta hektare serta penyumbang crude palm oil (CPO) 28,2% dari total 66 juta ton ekspor Indonesia, membuat industri cluster berbasis pertanian Oleochemical di kawasan industri Dumai di Pelintung dan di Kuala Enok, Inhil akan menjadi optimal.

 “Sekarang tinggal pemerintah secara bersama-sama serius menggarap peluang ini sehingga ketika terjadi pelemahan rupiah negara tidak akan terlalu besar terkena dampak dan perekonomian masyarakat bisa tumbuh,” katanya. (asd/k18)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper