Bisnis.com, MAKASSAR - Potensi 393 badan usaha milik daerah (BUMD) di Indonesia dengan aset Rp102 triliun ternyata belum didukung dengan regulasi yang memadai.
Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menunjukkan dari total aset BUMD yang ada di 17 provinsi itu terbesar dari kelompok bank pembangunan daerah (BPD) yang mencapai Rp34 triliun.
Anggota BPK Rizal Djalil mengatakan untuk mengatur BUMD itu masih menggunakan ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1962 tentang perusahaan daerah.
"Regulasi yang sekarang ini regulasi yang sudah tidak up to date," katanya di sela-sela acara rapat koordinasi BPK RI dengan direksi BUMD di Hotel Grand Clarion, Makassar, Senin (26/8).
Akibatnya, lanjut Rizal, terdapat ketidakjelasan beberapa aspek seperti pada pengawasan dan pembinaan BUMD itu sendiri. Pengawasan dan pembinaan hanya dilakukan pejabat setingkat eselon 3 di Kementrian Dalam Negeri.
Di samping itu, tata kelola BUMD belum menerapkan prinsip good corporate governance (GCG), core bisnisnya tidak jelas dan tidak fokus, serta dari segi kelembagaan belum mendukung efisiensi dan efektivitas operasi.
Dia berharap ada amandemen atas regulasi yang dinilai terlalu usang, tetapi inisiatif pihak terkait hingga saat ini belum ada. "Inisistif harapannya datang dari Pemda, tapi itu terpikirkan atau tidak?" katanya.
Menurutnya BUMD adalah potensi besar milik pemeritnah daerah yang kurang dipedulikan. Sehingga dalam laporan keuangan sering ditemui persoalan.
BPK sendiri berencana mengaudit 68 BUMD yang dinilai memiliki potensi untuk dikembangkan. Parameter pemilihan badan usaha yang diaudit itu berdasarkan aset, keuntungan, dan dampaknya bagi masyarakat.
Menurut Rizal, BPK menemukan indikasi masalah pada beberapa jenis BUMD yang meliputi BPD, bank perkreditan rakyat (BPR), perusahaan daerah air minum (PDAM), perusahaan daerah (PD) Pasar, PD pertambangan, dan PD aneka usaha lainnya.
Pertama, sejumlah BPR milik pemerintah daerah (pemda) terindikasi tidak prudent. Padahal BPR berkontribusi signifikan terhadap produk domestik regional bruto.
Kedua, privatisasi dan kerjasama pada PDAM belum sepenuhnya memperhatikan PDAM serta cakupan pelayanan belum optimal.
Ketiga, pengembangan PD Pasar belum didukung regulasi dan komitmen yang kuat dari Pemda. Keempat, pendirian PD pertambagan tidak layak dan kerja sama tidak memperhatikan kepentingan PD pertambangan itu sendiri.
Kelima, ketidaklayakan pembentukan dan mismanagement BUMD aneka usaha lainnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Andi Rachmat mengatakan beberapa kondisi yeng terjadi akhir-akhir ini perlu diantisipasi dengan regulasi, seperti akuisisi atas BUMD oleh swasta.
"Berbahaya jika akuisisi diam-diam terhadap BUMD dengan cara yang tidak prudent. Akuisisi tidak apa-apa tetapi harus sesuai aturan hukum," katanya.
Menurutnya sudah saatnya dilakukan perbaikan untuk mencegah pengambilalihan diam-diam atas sumber daya negara seperti BUMN dan BUMD.
Direktur Utama AJB Bumiputera Cholil Hasan menambahkan BUMD harus ditangani dengan cara berbeda. Menurutnya perlu regulasi yang mengatur soal restrukturisasi.
"Sebelum dijual kinerjanya perlu diperbaiki, nilai sahamnya perlu dinaikkan. Aspek permodalan sangat penting. Tingkatkan kinerjanya, naikkan value-nya.," katanya.
Dia mencontohkan UU Pasar Modal yang hanya memperbolehkan perusahaan yang akan listing harus untung dalam 3 tahun terakhir.