Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penetapan Patrialis Akbar: Mekanisme Pemilihan Pejabat Tinggi Negara Perlu Dipertegas

Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat menilai perlu ada tata peraturan yang transparan dan partisipatif terkait dengan pemilihan dan penetapan pejabat tinggi negara. Pengamat hukum tata negara yang juga Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat menilai perlu ada tata peraturan yang transparan dan partisipatif terkait dengan pemilihan dan penetapan pejabat tinggi negara. 

Pengamat hukum tata negara yang juga Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Assidiqie terutama menyorot proses penetapan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Jimly menilai penetapan tersebut kurang sempurna karena dilakukan secara mendadak tanpa ada proses sebelumnya. Padahal, ujarnya, Pasal 18 tentang UU MK menyebutkan bahwa para calon harus lebih dulu diumumkan kepada publik sebelum dipilih. 

"Bagaimana kasus yang sekarang [terpilihnya Patrialis], yah bau-baunya melanggar, tidak transparan dan tidak partisipatif. Tetapi karena aturan tidak ada, mau diapain, kita terima saja," ujarnya di Istana Negara hari ini, Kamis (8/8/2013). 

Dampaknya, lanjutnya, meskipun tokoh yang dipilih memiliki kapabilitas, dia mengalami delegitimasi karena dipersoalkan orang-orang hanya sebab prosedur formal tidak terpenuhi. 

"Karena ini kurang sempurna, tidak berarti menyebabkan pengangkatan Patrialis tidak sah. Dia tetap sah, bagaimana pun tetap hargai apa yang sudah dihasilkan oleh Presiden. Cuma ke depan harus diperbaiki," ujar Mantan Ketua MK itu. 

Namun bagaimana pun, katanya, hal itu tidak dapat dikenakan sanksi karena termasuk kewenangan pemerintah. 

Jimly menambahkan undang-undang sendiri tegas menyebutkan bahwa penetapan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang terdiri atas Mahkamah Agung, Presiden, serta DPR. Artinya, ujarnya, harus ada peraturan yang mengatur penetapan hakim. 

"Sekarang karena tidak ada aturan, masing-masing menafsirkan dan menjalankan sendiri-sendiri. Tidak ada standar. Maka sebaiknya harus diatur," katanya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper