Bisnis.com, JAKARTA - Bagi Jepang, cukup adalah cukup. Setelah bertahun-tahun ditindas oleh tekanan deflasi, Negeri Matahari Terbit itu akhirnya memutuskan untuk bangun dari mimpi buruk dan membuktikan bahwa mereka masih layak menyandang gelar ‘negara berperekonomian terbesar ketiga di dunia’.
Terobosan Ekonomi PM Shinzo Abe
Target inflasi per tahun sebesar 2% |
Koreksi dari apresiasi berlebihan terhadap nilai tukar yen |
Penetapan suku bunga negatif |
Pelonggaran kuantitif |
Menggenjot investasi publik |
Pembelian obligasi oleh BoJ |
Revisi kebijakan bank sentral |
Selama lebih dari 1 dekade, salah satu raksasa Asia Timur itu dihantui oleh lingkaran setan kebijakan moneter yang melempem, bank-bank yang lesu dan tidak dapat memberi pinjaman, perekonomian yang bertumbuh dengan lamban, serta harga-harga yang terus jatuh.
Kondisi Jepang pada era 1990an itu sedikit menyerupai keadaan zona euro ketika dihantam krisis finansial besar-besaran saat ini. Pada waktu itu, negeri para Samurai itu harus berjibaku melawan resesi dalam neraca keuangan akibat meletusnya gelembung aset.
Tertekan, Sang Sakura pun dicap gagal memekarkan bunga-bunga perekonomian yang sehat. Bank sentral mereka, Bank of Japan (BoJ), juga dihujani kritik tajam karena ketidakmampuannya mencetak sebuah kebijakan yang tegas.
Akan tetapi, tahun-tahun kelam itu diprediksi segera menemui ujungnya. Jepang sepertinya telah menemukan sosok pemimpin yang sanggup melesakkan panah-panah untuk membidik apa yang telah mereka buru selama lebih dari 15 tahun; inflasi sebesar 2%.
Adalah Shinzo Abe, Perdana Menteri yang cukup berani mencetuskan seperangkat kebijakan untuk menyelesaikan masalah ekonomi makro yang telah lama membelit Jepang. Memenangkan pemilihan majelis rendah pada Desember 2012, Abe membuat gebrakan hanya dalam waktu kurang dari 4 bulan sejak menduduki posisi di pucuk pemerintahan Jepang.
Menyadari kebutuhan mendesak akan adanya reformasi struktural dalam awak perekonomian Jepang, Abe merajut sebuah strategi besar yang menggabungkan kebijakan fiskal (‘panah pertama’), kebijakan moneter (‘panah kedua’), dan strategi pertumbuhan ekonomi yang menekankan pada investasi di sektor swasta (‘panah ketiga’). Kebijakan revolusioner itu kini dikenal dunia dengan nama Abenomics.
Lantas apa yang membuat Abenomics seolah menjadi panacea bagi perekonomian Jepang yang lesu? Rahasianya terletak pada formula yang diramu oleh Abe.
Pimpinan Partai Demokrat Liberal itu menggandengkan kebijakan-kebijakan spesifik, yang mencakup target inflasi per tahun sebesar 2%, koreksi dari apresiasi berlebihan terhadap nilai tukar yen, penetapan suku bunga negatif, penerapan pelonggaran kuantitif yang teramat radikal, penggenjotan investasi publik, pembelian obligasi oleh BoJ, dan revisi kebijakan bank sentral.
Pada Minggu (21/7), Abe semakin meneguhkan cengkeramannya sebagai pemegang tampuk kekuasaan Jepang setelah sekali lagi memenangkan pemilihan majelis tinggi. Hal itu membuktikan bahwa rakyat Jepang berharap di bawah pimpinannya, negara kepulauan itu dapat memiliki pemerintah yang stabil, yang tidak mereka dapatkan selama 6 tahun berturut-turut.
Bukan hanya rakyat, para pelaku bisnis Jepang juga menggantungkan harapan yang tinggi di pundak pimpinan kelahiran Nagato, Yamaguchi itu. Mereka harus mempercayakan nasib peta investasi mereka pada ketajaman dan keakuratan ‘panah ketiga’ Abenomics.
Rentetan Tugas
Belum ada sepekan menikmati kemenangannya, Abe sudah disodori daftar permintaan oleh para pemimpin perusahaan yang menginginkan dirinya menggunakan kekuatan yang dia miliki untuk memangkas pajak korporasi sebagai upaya mendorong pertumbuhan yang telah macet selama 2 dekade.
Abe yang probisnis pernah berjanji untuk mendongkrak belanja modal Jepang hingga ke level seperti sebelum terjadinya krisis finansial 2008. Dia juga berjanji mendukung perusahaan-perusahaan domestik untuk beroperasi di luar negeri. Untuk itu, dia menggelar kampanye legislatif untuk melonggarkan peraturan bisnis, mulai dari masalah obat yang dijual bebas hingga konstruksi.
Norio Sasaki, Wakil Chairman Toshiba Corp mengatakan, “Kami ingin diperlakukan secara seimbang dengan para kompetitor kami di luar negeri. Pemerintah harus mengambil langkah untuk menghapuskan hambatan cukai—misalnya melalui Trans Pacific Partnership (TPP)—dan menurunkan pajak korporasi.” Dia menuntut Abe untuk menurunkan pajak setidaknya sebesar 20%.
Senada dengan pernyataan Sasaki, Chairman Seven & I Toshifumi Suzuki menyatakan dirinya sangat menantikan bagaimana strategi pertumbuhan ‘panah ketiga’ dalam Abenomics dapat diterapkan melalui kekuatan pengambilan keputusan yang dimiliki Abe saat ini.
“Kami menginginkan pajak korporasi [Jepang] sejajar dengan negara-negara lain,” imbuh Hiroshi Tomono, Chairman Japan Iron and Steel Federation yang juga merupakan Presiden Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp.
Permintaan serupa juga disampaikan oleh Takashi Kawamura, Chairman Hitachi Ltd., yang merupakan perusahaan manufaktur kedua terbesar di Jepang. Dia mendesak agar Pemerintah Jepang memprioritaskan reformasi pajak.
Jepang memang seharusnya menurunkan insentif bagi perusahaan domestik agar mau menanam modal di dalam negeri. Permasalahannya, negara tersebut memiliki pajak korporasi efektif dengan level tertinggi kedua di antara kelompok G-7.
Pajak korporasi Negeri Matahari Terbit itu berada di level 35,6%, padahal di China hanya 25% dan di Singapura hanya 17%. Menurut data dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), hanya Amerika Serikat saja yang memiliki pajak yang lebih tinggi dari Jepang di level 39,1%.
Permasalahan lainnya adalah jika pajak korporasi diturunkan, Abe akan menuai kritik dari rakyat yang telah memilih dia. Karena beban pajak yang lebih tinggi akan dilimpahkan kepada mereka, seiring dengan rencana pemerintah menaikkan pajak konsumsi nasional pada April 2014 untuk pertama kalinya dalam 17 tahun terakhir. Pajak konsumsi akan ditingkatkan menjadi 8% dari 5%.
Pada awal Juli, Abe bersikeras bahwa menaikkan pajak konsumsi sangatlah penting karena biaya pengamanan sosial kian melesat dan Jepang tengah menanggung beban utang. Kendati demikian, dia menyadari kenaikan pajak berisiko menghambat pemulihan ekonomi karena dapat menurunkan konsumsi. Oleh karena itu, dia berjanji akan mempertimbangkan kondisi ekonomi sebaik-baiknya sebelum membuat keputusan akhir.
Chairman Mitsubishi Corp. Yorihiko Kojima mengatakan pajak konsumsi harus ditingkatkan untuk menyelamatkan neraca keuangan Jepang. Sementara itu, Penasehat Senior Komatsu Ltd. Masahiro Sakane berpendapat Abe mungkin akan fokus terhadap masalah insentif terlebih dahulu.
“Pemerintah dapat menyokong perusahaan-perusahaan yang ingin menanggung risiko investasi fasilitas dengan menawarkan pengurangan pajak. Menurunkan pajak korporasi dapat ditunda sampai dampak dari kenaikan pajak terlihat,” lanjut Sakane.
Di luar tumpukan tugas dan tuntutan yang menanti langkahnya, putera politisi kawakan Shintaro Abe itu terbukti berhasil membawa Jepang pada pertumbuhan untuk pertama kalinya sejak 2011. Kendati demikian, dia masih harus terus berjuang untuk menghapuskan keraguan banyak pihak atas keberhasilan Abenomics.
Pada Kamis (11/7), Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda membawa kabar baik bahwa stimulus moneter yang digagas Abe telah membuahkan hasil dan Negeri Sakura menyatakan perekonomiannya telah pulih sejak sebelum terjadinya bencana gempa bumi 2 tahun lalu.
“Kami percaya pemerintah telah mengambil kebijakan yang cukup untuk mencapai target kestabilan harga sebesar 2% dalam lini waktu 2 tahun,” papar Kuroda. Dia sangat optimistis Jepang dapat mencapai target, meskipun pemerintah masih harus mengatasi risiko baik yang mengarah ke atas maupun ke bawah.
Seiring dengan rencana ‘panah ketiga’, Abe dan Kuroda diperkirakan mulai mengurangi pelonggaran moneter secara bertahap karena perekonomian tengah membaik. Long Hanhua Wang, ekonom Royal Bank of Scotland Group mengatakan, “Kuroda telah menegaskan bahwa dia menghindari pelonggaran inkremental dan sejauh ini dia telah sukses mendongkrak ekspetasi inflasi dan mengubah mindsets dengan satu kebijakan yang sangat besar.”