Bisnis.com, JAKARTA - Beruntunglah bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah tropis dengan dua musim, waktu menjalankan puasa Ramadan hanya sekitar 13 jam sehari. Bayangkan saudara kita yang berada di negara lain seperti di Eropa, yang harus menahan lapar dan haus selama Ramadan bisa lebih dari 19 jam sehari.
“Alhamdulillah, kami melakukan puasa waktunya panjang. Kami sahur pukul 2 pagi karena subuh jam 3.19 dan berbuka pukul 10 malam,” cerita Emma Rodini, warga Indonesia yang lebih dari 20 tahun tinggal di Rotterdam, Belanda, Rabu (10/7/2013), lewat surat elektronik.
Emma yang tinggal bersama suami William Satriaputra De Weerd, dan anak-anaknya di Rotterdam, menuturkan umat Islam di negeri kincir angin itu berpuasa cukup panjang. Menahan lapar dan haus sampai 20 jam.
Menurut dia, salat Isya di sana sekitar pukul 24.00 waktu setempat. “Akibatnya ketika sahur perut masih kenyang, karena makan malamnya habis Magrib pukul 22, atau bahkan habis solat Taraweh baru makan,” ungkap perempuan kelahiran 11 November 1957 ini
Untuk mengatasi hal tersebut, ujar guru di Sekolah Indonesia Nederland di Den Haag ini, dia dan keluarganya minum jus buah, susu, dan air putih yang banyak, agar dapat memenuhi sunnah Rosul untuk sahur, dan menjaga tubuh supaya tidak mengalami dehidrasi kekurangan cairan selama berpuasa.
Emma menceritakan untuk menahan lapar dan dahaga, Insya Allah tidak terlalu sulit karena memang mereka terbiasa makan siang dengan sepotong roti atau sebutir buah apel saja.
“Yang terasa berat adalah untuk menghidupkan malam-malam Ramadan di mesjid. Bayangkan, salat taraweh dimulai sekitar pukul 00.30 dini hari. Belum lagi lokasi masjidnya cukup jauh dari rumah, memakan waktu sekitar 40 menit di jalan. Andai saja libur dan tidak bekerja seperti biasanya, mungkin hambatan ini tidak terasa,” ungkapnya.
Namun, lanjutnya, sebagai guru Sekolah Indonesia, dia merasa bersyukur karena sekolah diliburkan. Tapi untuk suami dan anak-anaknya, tetap harus bekerja seperi biasa. Pergi jam 08.00 dan baru kembali ke rumah sekitar jam 19.00.
“Kami mempunyai waktu yang agak longgar adalah hari Jumat dan Sabtu, karena besoknya libur. Waktu inilah pula yang dapat kami digunakan untuk i'tikaf di masjid,” ujar alumni IPB Bogor ini.
Emma yang berasal dari Bogor, Jawa Barat ini, menuturkan semua dilakukan dengan ikhlas dan sabar, semata-mata mengharap ridho Allah.
“Insya Allah, Allah mengetahui kesulitan kami. Dan kami berusaha semaksimal mungkin yang dapat kami lakukan, walaupun kami sangat iri untuk berpuasa di Tanah Air. Bukan hanya karena waktu puasanya pendek, tapi juga banyak kemudahan termasuk menghidupkan malam dengan jarak masjid atau mushola yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja.”
Untuk berpuasa di Tanah Air, katanya, memang ada sebagian temannya pulang ke Indonesia. “Tapi tidak semua orang dapat melepas tanggung jawab pekerjaan begitu saja. Meneladani Rasulullah, di bulan Ramadan melakukan Perang Badar. Mengapa kami yang tidak perlu perang, tidak sanggup hanya sekadar bertanggung jawab? Islam itu maha besar,” ujarnya.
Menutur dia, perjuangan itu bukan hanya berperang saja. “Kami harus dapat menunjukkan karakter seorang muslim yang tangguh dalam berbagai persoalan hidup. Puasa panjang hanya salah satu perjuangan kita dimuka bumi ini. Masih banyak perjuangan yang harus kita lakukan. Semoga Allah meridhoi perjuangan kita. Amin.”