BISNIS.COM, JAKARTA -- Jaksa dalam kasus dugaan korupsi frekuensi 2,1 Ghz atau 3G PT Indosat-M2 dinilai salah memahami aturan hukum, terutama hukum administrasi negara.
Pakar hukum administrasi negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bisnis telekomunikasi sudah memiliki aturan tersendiri sehingga tidak bisa begitu saja ditarik ke ranah pidana.
"Jaksa tidak perhatikan aspek administrasi negara, telekomunikasi diatur UU tersendiri," ujarnya kepada wartawan, Selasa (11/6).
Dia menjelaskan frekuensi telekomunikasi yang dipegang Indosat kemudian diberikan kepada Indosat M2 sudah benar dan tidak menyalahi aturan. Indosat mengikuti proses tender sehingga memiliki hak memakai frekuensi itu untuk kemudian disewakan ke pihak lain dalam hal ini IM2 sebagai penyelenggara jasa Internet.
Sebagai pemegang frekuensi, Indosat sudah membayar PNBP sehingga penyewa frekuensi itu tak perlu membayar lagi. Logika sederhananya, Yusril menjelaskan seperti orang yang menyewa rumah kemudian dia tak dibebankan untuk bayar PBB cukup si pemilik saja.
"Penerimaan negara bukan pajak itu tidak serta-merta dapat ditagih. Itu juga baru dapat ditagih jika sudah ditetapkan peraturan pemerintah. PP soal frekuensi juga belum ada."
Kalau PP belum dikeluarkan, sambungnya, sedangkan Indosat sendiri sudah dikenakan PNBP, maka IM-2 tidak perlu bayar. Begitu frekuensi diberikan, Indosat punya hak ekslusif.
"Jadi kalau dikatakan IM2 tidak bayar PNBP memang tidak perlu bayar. Jika Indosat dan IM2 bayar PNBP justru akan jadi dobel dan malah dipertanyakan," tegas Yusril.
Menurutnya, kasus Indosat memiliki kemiripan dengan Sisminbakum. Karena akses fee Sisminbakum bukan PNBP, tidak ada acuan dari peraturan pemerintah. Alhasil, uang itu tetap milik swasta.