PEKANBARU— Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengajak puluhan Bank Perkreditan Rakyat yang berada di wilayah Riau dan Kepulauan Riau untuk mengidentifikasi transaksi mencurigakan dan berani melaporkannya untuk menghindari praktek pencucian uang dikalangan BPR.
Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengatakan BPR berpotensi dimanfaatkan sebagai tempat puncucian uang bagi para koruptor, pelaku narkoba, dan pelaku pembalakan liar.
“Di Riau yang punya lahan hutan luas dan di Kepri yang merupakan wilayah perbatasan dengan negara tetangga sangat rawan bagi tindak pencucian uang hasil korupsi, pembalakan liar, dan penyelundupan narkoba,” katanya Jumat (5/4).
PPATK besama Bank Indonesia Pekanbaru menggelar sosialisasi mengenai identifikasi transaksi mencurigakan bersama 50 BPR yang berada di Riau dan Kepri pada Kamis (4/4). Menurut Agus, saat ini para pelaku kejahatan cenderung sudah menghindari transaksi di bank umum. Mereka menggunakan uang tunai, dan cenderung memanfaatkan BPR untuk menyimpan uang maupun transaksi lainnya.
"Jangan sampai BPR ini dijadikan sarana untuk pencucian uang. Setiap transaksi di atas Rp500 juta harus dilaporkan, dan jika tidak sesuai dengan profil nasabah harus dicurigai,” ujarnya.
PPATK juga mengajak perbankan di Indonesia untuk membatasi transaksi tunai maksimal Rp100 juta. Selama ini, lanjutnya, pembatasan transaksi tunai sudah pernah dibahas di tingkat pusat bersama sejumlah kementerian namun belum menjadi aturan.
Menurut Agus, pembatasan setoran tunai maksimal Rp100 juta bisa mempermudah pengawasan terhadap transaksi mencurigakan. Dengan begitu, transaksi dengan jumlah besar nantinya akan melalui rekening yang bisa jelas terpantau asal-usul pengirimnya.