JAKARTA: Rencana Australia membuka Kepulauan Kokos sebagai pangkalan pesawat pengintai tanpa awak (drone) milik Amerika Serikat wajib diwaspadai kemungkinan pelanggaran batas wilayah.
Mengutip paper Institute for Defence, Security and Peace Studies (IDSPS) bertajuk ‘Pengelolaan dan Pengamanan Wilayah Perbatasan Negara’ tercatat tidak sekali pesawat-pesawat tempur Australia maupun Amerika Serikat dipergoki melakukan pelanggaran batas wilayah Indonesia yang dilakukan secara sengaja.
Pada 1993, F18 milik Amerika Serikat dipergoki F16 TNI AU memintas di atas perairan Biak. Bahkan sepanjang 1993-2001 kerap terjadi ketegangan antara Indonesia dan Australia karena seringnya kasus penerbangan gelap (black flight) maupun penerbangan tanja ijin.
Salah satu kasus paling fenomenal adalah penerbangan gelap yang dilakukan Australia pada 2000, saat itu pesawat tempur F-18 Australia sempat disergap pesawat F-5 TNI AU. Beruntung tak terjadi insiden.
Sementara AS sebagai negara yang kerap meributkan aturan melakukan pelanggaran batas wilayah pada 2 Juli 2003, saat lima pesawat F-18 Hornet Amerika nylonong secara sengaja di atas angkasa Pulau Bawean.
Kini dengan menempatkan drone di Kepulauan Kokos yang hanya berjarak 1280,33 kilometer atau kurang dari 3 jam penerbangan, bukan tidak mungkin bakal makin sering terjadi pelanggaran batas wilayah.
Bagaimana Indonesia, pada 2010, Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) berhasil mengintegrasikan jaringan radar militernya dengan jaringan radar penerbangan sipil Indonesia.
Hasilnya, seluruh pergerakan lalu lintas udara di Tanah Air bisa dimonitor langsung dari Markas Kohanudnas. Meski demikian, bukan rahasia lagi soal jika AS hingga saat ini belum melakukan ratifikasi UNCLOS. Siap-siap saja ada yang nylonong. (sut)