Bisnis.com, LONDON - Banyak negara bisa menghadapi peningkatan resiko kekurangan makanan saat makin banyak cuaca ekstrem diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim, demikian hasil satu studi baru yang dikeluarkan pada Senin (2/4) oleh University of Exeter.
Tim tersebut, yang dipimpin oleh Universitas itu, meneliti 122 negara berkembang dan kurang maju --kebanyakan di Asia, Afrika dan Amerika Selatan-- dan mengkaji bagaimana perubahan iklim bisa mempengaruhi kerentanan berbagai negara terhadap kondisi rawan pangan.
Studi terbut memperlihatkan bahwa meskipun terjadi peningkatan kerentanan terhadap kerawanan pangan dalam kedua skenario --yang berarti pemanasan global 1,5 derajat Celsius dan dua derajat Celsius dibandingkan dengan tingkat pra-industri-- dampaknya akan lebih buruk buat kebanyakan negara pada dua derajat Celsius.
Perubahan iklim diperkirakan mengakibatkan lebih banyak cuaca ekstrem dengan hujan lebat dan kemarau, dengan dampak berbeda di bagian dunia yang berbeda, kata Profesor Richard Bettes, Ketua mengenai Dampak Cuaca di University of Exeter, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa. "Cuaca ekstrem semacam itu dapat meningkatkan kerentanan kondisi rawan pangan."
Pemanasan diperkirakan mengarah kepada kondisi yang lebih lembab secara rata-rata, dan banjir membuat produksi pangan terancam, tapi pertanian juga dapat terancam oleh makin sering dan lamanya kemarau di sebagian daerah, kata studi tersebut --yang telah disiarkan di jurnal Philosophical Transactions of the Royal Society A.
Kondisi yang lebih lembab diperkirakan memiliki dampak paling besar di Asia Timur dan Selatan, dan kebanyakan proyeksi ekstrem menunjukkan arus Sungai Gangga dapat berlipat dua pada pemanasan global dua derajat Celsius.
"Sebagian perubahan sudah tak terelakkan, tapi jika pemanasan global dibatasi pada 1,5 derajat Celsius, kerentanan ini diproyeksikan akan tetap lebih kecil daripada dua deraja Celsius di rata-rata 76 persen negara berkembang," kata Profesor Betts.