Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menggali Kekayaan Bangsa Bernama 'Toleransi'

Toleransi merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang mesti dilestarikan
Herald Van der Linde. Bisnis/MG Noviarizal Fernandez
Herald Van der Linde. Bisnis/MG Noviarizal Fernandez

Bisnis.com, JAKARTA - Meski berkarier di bidang keuangan, Herald Van der Linde memilih keluar dari zona nyaman dan menjadi seorang peneliti sejarah mengenai Indonesia.

Sejauh ini, dia telah menerbitkan dua buku yakni Jakarta: History of a Misunderstood City dan Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire.

Dalam siaran broadcast pada kanal youtube Bisniscom, Mas Heru, begitu dia akrab disapa menceritakan perihal buku pertamanya soal Jakarta. Semua itu bermula dari impresi rekan-rekannya di Hong Kong yang mengunjungi Jakarta.

“Mereka datang tinggalnya di Hotel Mandarin, atau Hotel Mulia, makannya di restoran Indonesia yang berada di daerah pusat kota, lalu lintas macet, lalu begitu kembali ke Hong Kong mereka mengatakan Jakarta seperti itu,” tuturnya.

Sebaliknya, dia memiliki kesan yang berbeda karena lama tinggal di Jakarta, menetap di daerah Pasar Minggu yang penuh dengan jalan-jalan sempit dan bersua dengan berbagai macam orang yang sangat ramah, termasuk beragam pedagang makanan kaki lima. Jadi nampak ada dua sisi yang berbeda.

“Hal-hal yang saya temui itulah yang tidak dilihat oleh rekan-rekan saya. Karena itulah disebut misunderstood city,” jelasnya.

Kesan orang Indonesia yang ramah, serta toleran itu juga yang mendasarinya untuk menulis buku tentang Majapahit. Salah satu bentuk kerahmahan dan toleransi itu, contohnya, ada candi bercorak Hindu yang justru dirawat oleh umat Muslim.

Keterlibatannya dalam menulis buku mengenai Majapahit bermula ketika dia menumpang di Pasar Minggu semasa backpacker-an dulu.

Keluarga tempat dia menumpang, merupakan perpaduan dari sang suami yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah, serta istrinya yang asli Makassar, Sulawesi Selatan.

“Mereka menceritakan tentang kehidupan mereka dan sampailah cerita mengenai Majapahit. Saya pikir untuk benar-benar memahami Indonesia harus dimulai dari Majapahit,” kenangnya.

Dia kemudian mulai mencari informasi mengenai kerajaan itu. Akan tetapi, dia kesulitan menemukan literatur yang mudah dicerna. Memang ada literatur mengenai Majapahit namun ditulis secara ilmiah sehingga memang sulit untuk dicerna oleh khalayak.

Sejarah memang bukan menjadi prioritas publik Indonesia. Hal ini pun diperkuat dengan cerita dari sang istri yang asli Sunda, bahwa semasa sekolah dulu pelajaran sejarah diajarkan secara membosankan di mana murid harus menghafal tanggal kejadian dan sebagainya yang mudah dilupakan.

“Akhirnya, setelah menulis buku tentang Jakarta, saya merasa selain suka membaca, saya juga suka meriset dan menulis. Lalu saya mulai membaca, mendatangi candi-candi di Jawa Timur dan mulai menulis secara naratif sesuai permintaan istri saya, sehingga bisa mengerti apa itu Majapahit dan apa itu peninggalannya yang masih ada sampai sekarang” bebernya.

Dia tidak menampik bahwa Indonesia saat ini meletakan dasarnya pada Majapahit mulai dari sisi ekonomi, budaya, hubungan sosial dan sebagainya. Hal inilah yang mestinya disadari oleh generasi Indonesia saat ini.

Dia menekankan ada relevansi yang sangat penting antara kerajaan itu dengan Indonesia saat ini. Salah satunya yaitu toleransi mendapatkan tempat yang sangat penting di era itu dan terus diperjuangkan oleh sebagian besar orang Indonesia saat ini.

Sejarah, tuturnya, menjadi wahana bagi generasi saat ini untuk mengajarkan kepada generasi selanjutnya bahwa toleransi itu sudah ada sejak dahulu dan menjadi nafas dari bangsa ini.

Majaphit, tuturnya, merupakan kerajaan Hindu namun dihuni juga oleh penduduk umat Budha, Muslim lalu orang Tionghoa, Persia dan semacamnya yang saling menghormati.

“Kalau kualitas toleransi itu menurun, maka negara itu akan hancur. Hal inilah yang harus diketahui oleh generasi mendatang sehingga mereka juga bisa menjaga toleransi itu,” harapnya.

Perjuangannya dalam menulis buku mengenai kerajaan terbesar di Indonesia itu pun bukan main-main. Dia melakukan riset sleama empat tahun. Selain penelitian literatur, dia juga menyambangi 50-69 candi di daerah Jawa Timur dengan melalui medan yang sulit dan pernah membuatnya mengalami cedera lutut.

“Awalnya saya baca buku-buku dari catatan Belanda dulu, lalu penelitian dari universitas. Tapi kemudian saya merasa harus mendatangi candi-candi zaman Majapahit sebanyak mungkin. Beberapa peneliti dari Indonesia membantu saya mejelaskan kenapa candi itu beridiri dan apa makna dari relief di candi itu,” tuturnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper