Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Buntut Panjang Menkes Budi Gunadi vs FK Undip soal Mahasiswa PPDS Meninggal Dunia

Konflik Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Fakultas Kedokteran Undip terkait mahasiswa PPDS yang meninggal dunia kian meruncing. Ada apa?
Dany Saputra,Jessica Gabriela Soehandoko
Jumat, 13 September 2024 | 07:32
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2023). Rapat tersebut membahas upaya penanganan COVID-19 setelah pencabutan status PPKM, khususnya pelaksanaan program vaksinasi COVID-19. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2023). Rapat tersebut membahas upaya penanganan COVID-19 setelah pencabutan status PPKM, khususnya pelaksanaan program vaksinasi COVID-19. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Bisnis.com, JAKARTA - Perseteruan antara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) terkait kasus meninggalnya mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) akibat perundungan (bullying) memasuki babak baru. 

Pada Rabu (11/9/2024), Komite Solidaritas Profesi melaporkan Menkes Budi Gunadi Sadikin atas dugaan penyebaran berita bohong terkait dengan kasus peserta PPDS FK Undip yang meninggal dunia. 

Perwakilan Komite Solidaritas Profesi M Nasser menduga Menkes Budi Gunadi dan Dirjen Yankes Kemenkes Azhar Jaya telah melanggar Pasal 45A UU ITE tentang penyebaran berita bohong. 

“Melaporkan pejabat Kementerian Kesehatan atas penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran,” kata Nasser di Bareskrim Polri, Rabu (11/9/2024).

Menurutnya, Menkes dan Dirjen Yankes diduga menyampaikan informasi yang belum bisa dibuktikan, misalnya terkait kematian peserta AR yang disebut bunuh diri karena dirundung (bullying).

Selanjutnya, soal pemerasan Rp40 juta kepada korban selama beberapa bulan juga dinilai belum tentu benar. Pasalnya, korban yang diduga tewas statusnya merupakan bendahara dalam PPDS FK Undip.

"Ada pemalakan Rp20juta-Rp40 juta itu juga tidak benar. [Uang] Rp20 juta-Rp40 juta itu beliau almarhum dalam kapasitas sebagai bendahara yang mengumpulkan dana teman-temanya 11 orang terkumpul Rp40 juta. Itu dibelanjakan selama 3 bulan menjadi bendahara itulah yang kemudian dicatat dalam bukunya, buku ini salah baca atau diputar balik " tambahnya.

Oleh sebab itu, kata Nasser, proses penyelidikan atau pengungkapan kasus dugaan bunuh diri ini merupakan ranah kepolisian bukan pihak Kemenkes.

"Kejadian bunuh diri itu adalah kematian tidak wajar dan bunuh diri itu menjadi kapasitas kewenangan dari Polri bukan kewenangan dari orang-orang lain yang tidak memiliki cukup kewenangan untuk melakukan proses itu," imbuh Nasser.

Perwakilan Komite Solidaritas Profesi, M Nasser di Bareskrim Polri, Rabu (11/9/2024). JIBI/Anshary Madya Sukma
Perwakilan Komite Solidaritas Profesi, M Nasser di Bareskrim Polri, Rabu (11/9/2024). JIBI/Anshary Madya Sukma

Respons Kemenkes 

Kemenkes tak ambil pusing soal pelaporan dugaan penyebaran berita bohong terkait dengan kasus meninggalnya peserta PPDS FK Undip.

“Kami tidak ambil pusing terkait ini,” terang Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi kepada Bisnis, Kamis (12/9/2024).

Adapun, sebelum menyatakan sikap tersebut, Nadia mengatakan bahwa pihaknya menyayangkan upaya yang  tidak berusaha untuk menghentikan aksi perundungan.

“Tapi kami menyayangkan kalau ada upaya yang tidak mendukung menghentikan perundungan,” jelasnya.

Sebelumnya, Kemenkes menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum senior kepada mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip yang meninggal dunia, yaitu Dokter Aulia Risma Lestari (ARL). 

"Permintaan uang ini [oleh senior ke dr. Aulia] berkisar antara Rp20 juta – Rp40 juta per bulan," ujar Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dikutip dari Antara, Senin (2/9/2024). 

Berdasarkan kesaksian, Syahril mengatakan permintaan ini berlangsung sejak almarhumah masih di semester 1 pendidikan atau di sekitar Juli hingga November 2022.

Saat masih hidup, Aulia Risma ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya dan juga menyalurkan uang tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan non-akademik.

Kebutuhan non akademik itu meliputi membiayai penulis lepas untuk membuat naskah akademik senior, menggaji OB, dan berbagai kebutuhan senior lainnya.

"Pungutan ini sangat memberatkan almarhumah dan keluarga. Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan tersebut dengan nilai sebesar itu," kata Syahril.

Syahril menyebut bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses lebih lanjut.

"Investigasi terkait dugaan bullying saat ini masih berproses oleh Kemenkes bersama pihak kepolisian," kata dia.

Dekan FK Undip Dicopot 

Praktik Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Yan Wisnu diberhentikan sementara oleh RS Kariadi, Semarang, Jawa Tengah. 

Pemberhentian tersebut menyangkut masalah perundungan atau bullying yang menyebabkan seorang dokter PPDS diduga bunuh diri.

Pihak FK Undip menyayangkan sikap RS yang dinilai merugikan banyak pihak, termasuk dokter residen lain hingga pasien. Di sisi lain, FK Undip sendiri sudah melakukan investigas internal akan kasus yang terjadi.

"Di dalam kasus PPDS, Undip sudah melakukan investigasi internal," kata Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro Wijayanto di Semarang, Sabtu (1/9/24), menanggapi ditangguhkannya praktik dokter Yan Wisnu Prajoko di RSUP dr Kariadi Semarang.

Menurut dia, Undip terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar, baik kepolisian maupun Kementerian Kesehatan.

Bahkan jika memang terbukti ada perundungan maka hukuman untuk pelaku jelas dan tegas, yakni drop out alias dikeluarkan. Namun, pihaknya menyoroti pemberhentikan sepihak oleh RS Kariadi dilakukan karena adanya tekanan dari Kementerian Kesehatan.

"Yang melakukan pemberhentian itu adalah direktur rumah sakit (RSUP dr Kariadi, red.). Kami mendengar Pak Dirut mendapat tekanan luar biasa dari Kementerian Kesehatan sehingga mengeluarkan keputusan itu," katanya.

Dia menilai penangguhan praktik dokter spesialis bedah onkologi itu merupakan hukuman kedua yang diberikan oleh Kemenkes atas kasus yang sebenarnya masih dalam tahap investigasi, dan hukuman kemungkinan akan berlanjut.

Menanggapi masalah dokter PPDS, FK Undip juga menyinggung mengenai jam kerja berlebihan yang merupakan kebijakan rumah sakit dan Kementerian Kesehatan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper