Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontroversi Usai Eddy Hiariej Menang Praperadilan Lawan KPK

Hakim menganggap bahwa penetapan tersangka terhadap Eddy Hiariej belum mencukupi dua alat bukti.
Anshary Madya Sukma, Dany Saputra
Rabu, 31 Januari 2024 | 07:30
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej saat diperiksa Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap./ Antara
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej saat diperiksa Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap./ Antara

Bisnis.com, JAKARTA -Penetapan status tersangka terhadap Edward Omar Sharief Hiariej atau Eddy Hiarej gugur setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan gugatan praperadilan eks Wamenkumham tersebut.

Eddy Hiariej menjadi salah satu tersangka yang berhasil memenangkan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum Eddy, ada nama mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, eks petinggi Polri Budi Gunawan, hingga mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Adapun dalam perkara Eddy Hiariej, hakim tunggal PN Jaksel, Estiono menolak eksepsi KPK. Dia mengabulkan permohonan gugatan praperadilan yang teregister 2/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL dari Eddy Hiariej.

"[Penetapan tersangka] terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menghukum termohon membayar biaya perkara," imbuhnya.

Hakim Estiono, dalam pertimbangannya, tidak sependapat dengan KPK soal permohonan praperadilan Eddy Hiariej karena masuk materi pokok perkara. Sebab, dalam pertimbangan hakim gugatan Eddy harus dilihat secara komprehensif.

"Menimbang, bahwa Hakim berpendapat dalam memahami Permohonan Praperadilan aquo, tidak dilakukan secara parsial, namun memahaminya seharusnya secara komprehensif," kata Estiono.

Selain itu, Hakim juga menuturkan bahwa pertimbangan lainnya adalah penetapan tersangka terhadap Eddy Hiariej oleh KPK tidak memenuhi dua alat bukti yang sah sesuai mekanisme yang berlaku.

"Tindakan Termohon yang telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum," pungkasnya 

Respons KPK

Sementara itu, KPK merespons putusan PN Jaksel yang mengabulkan permohonan praperadilan Eddy Hiariej, yang sebelumnya ditetapkan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. 

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata irit berkomentar mengenai hal tersebut dan menyebut belum membaca pertimbangan para hakim PN Jakarta Selatan. 

"Saya belum baca pertimbangan hakim," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (30/1/2024).

Alex, sapaannya, mengatakan bahwa Biro Hukum KPK akan mengkaji pertimbangan hakim yang memutus permohonan praperadilan tersebut. 

"Biro hukum akan mengkaji pertimbangan hakim dan melaporkan ke pimpinan," tuturnya. 

Sementara itu, penasihat hukum Eddy Hiariej, Muhammad Luthfie Hakim mengatakan bahwa hasil ini bisa jadi jalan untuk memperbaiki prosedur dalam menetapkan tersangka.

"Ini akan menjadi perubahan yang sangat signifikan, bagi KPK ke depannya. Kami mengharapkan KPK untuk bersedia merevisi POB-nya dimana menetapkan seorang tersangka itu dapat dimulai setelah penyelidikan selesai," kata Luthfie.

Konstruksi Perkara

Sebagai informasi, KPK menetapkan Eddy Hiariej, Yogi Arie Rukmana, Yosie Andika Mulyadi, serta Helmut Hermawan sebagai tersangka kasus suap. Eddy juga diduga menerima gratifikasi miliaran rupiah pada Kamis (7/12/2023).

KPK menduga Eddy menerima suap Rp4 miliar terkait dengan pemberian bantuan konsultasi hukum mengenai administrasi hukum umum untuk PT CLM. 

Uang suap itu diduga diberikan oleh Helmut selaku eks dirut PT CLM melalui transfer rekening asisten pribadi Eddy Hiariej yakni Yogi Arie Rukmana, dan advokat Yosie Andika Mulyadi.

Selain konsultasi administrasi hukum umum PT CLM, Eddy turut diduga membantu Helmut untuk membuka blokir hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan tersebut pada Sistem Administrasi Bantuan Hukum (SABH). 

Di luar pengurusan administrasi bantuan hukum PT CLM, profesor di bidang hukum itu diduga berjanji untuk menghentikan penyidikan terhadap Helmut di Bareskrim Polri melalui surat perintah penghentian penyidikan atau SP3, dengan penyerahan uang sekitar Rp3 miliar. 

Bahkan, Helmut diduga memberikan uang senilai Rp1 miliar kepada Eddy untuk pencalonan sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti). Dengan demikian, KPK menduga sejauh ini terdapat total Rp8 miliar aliran dana yang diterima Eddy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper