Bisnis.com, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) terus memprovokasi China. Gagal di uji coba perang dagang. Mereka kini tengah memancing militer China untuk keluar kandang dengan menggoreng isu Taiwan dan Laut China Selatan.
Manuver AS itu tentu sangat berbahaya bagi negara-negara Asia. Apalagi jika China benar-benar murka. Mereka bisa tiba-tiba mengerahkan pasukan militer. Meluncurkan rudal-rudal balistiknya. Roket, peluru, atau bahkan nuklir. Dunia terancam, bisa jadi musnah.
Apalagi, kalau perang itu menghadapkan China dengan AS, mungkin juga Jepang. Negara yang punya budget militer terbesar di dunia. Aksi saling balas rudal akan terjadi. Daya hancurnya mungkin melebihi Perang Asia Raya atau Perang Dunia II.
Itu dari sisi militer. Dari sisi ekonomi. Sungguh tidak bisa dibayangkan. AS dan China adalah dua kekuatan utama ekonomi dunia. Perang antara kedua negara itu berarti bencana bagi peradaban manusia.
Perang Rusia-Ukraina, yang kekuatan ekonominya tidak sebesar China atau Amerika Serikat saja bikin dunia kelimpungan. Krisis energi dan krisis pangan melanda Eropa, bahkan dunia. PBB sampai harus turun tangan agar Rusia dan Ukraina menurunkan tensi supaya krisis pangan teratasi.
Kalau China Sampai Perang, Bagaimana Nasib dunia?
Sekadar catatan, produk domestik bruto atau PDB China sampai saat ini memang masih kalah dibandingkan Amerika Serikat. Tahun lalu, misalnya, PDB negeri di Utara Vietnam itu mencapai US$17,46 miliar. Sedangkan Amerika masih bertengger di posisi nomor wahid senilai US$23 miliar.
Baca Juga
Namun riset World Economic League Table 2021 yang dilakukan oleh Centre for Economics and Business Research (CEBR) pada (26/12/2021) menyebutkan bahwa China diprediksi akan mengambil alih posisi Amerika Serikat pada 2030.
Itu artinya dalam kurun 8 tahun lagi, China akan memimpin ekonomi dunia. Semakin kuat ekonomi China, posisi politik dan militernya juga akan semakin berpengaruh. Ketergantungan global terhadap China juga akan semakin tinggi.
Sedikit gangguan terhadap China, bisa berakibat ketidakstabilan dunia. Sejarah perang dagang antara AS dan China pada tahun 2018 sebenarnya memberi banyak pelajaran.
Perang tarif yang dimotori oleh Donald Trump itu tak banyak menghasilkan apa-apa selain kegaduhan. Niat hati ingin menghancurkan dan memberi pelajaran terhadap ekonomi China, yang terjadi justru sebaliknya. Neraca dagang AS tetap defisit. China justru tetap mendominasi perdagangan dunia.
Di sisi lain, negara-negara yang tidak ada sangkut paut dengan kedua negara, juga sangat terimbas perang dagang. Ekonomi lesu. Dana Moneter Internasional atau IMF maupun Bank Dunia bahkan harus berulangkali mengubah proyeksi ekonomi. Pada 2019 lalu, misalnya, IMF sampai merevisi ekonomi global dari 3,4 persen turun menjadi 3 persen.
Itu baru perang tarif. Posisi China juga semakin kuat dengan program Belt Road Initiative atau One Belt One Road (OBOR). OBOR adalah cerminan kebijakan pemerintah China di bawah Xi Jinping yang sangat ekspansif. Kepentingan di dalam negeri jadi prioritas. Kepentingan di luar negeri juga semakin diperkuat.
Melalui proyek OBOR, China ingin membangkitkan kejayaan masa lalu jalur sutera dan meneguhkan kembali hegemoni mereka sebagai pemegang rantai pasok global. Lewat proyek ini pula China ingin menguasai jalur maritim dunia.
Tak kurang dana segar senilai US$150 miliar per tahun dalam bentuk investasi infrastruktur dikucurkan ke negara-negara berkembang, Indonesia kecipratan.
Hal inilah yang memicu kekhawatiran penguasa dunia tradisional, Barat. Kalau China semakin kuat, semakin banyak negara yang tergantung, Barat kehilangan pamor. China juga akan semakin sewenang-wenang dalam konflik tapal batas di Laut Natuna Utara.
Makanya, Barat terus memprovokasi China, meski ancaman destabilisasi kawasan dan hancurnya rantai pasok global menjadi taruhannya.