Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kader PDIP Minta Jokowi Evaluasi Kinerja Menko Perekonomian Cs Buntut Masalah Migor

Kader PDIP menilai dua menteri Golkar yang membidangi soal minyak goreng tidak ada suaranya setelah Jokowi melarang ekspor CPO. Mereka pun minta dievaluasi kinerjanya.
Konsumen melihat stok minyak goreng aneka merek tersedia di etalase pasar swalayan Karanganyar pada Kamis (17/3/2022)/ Solopos.com-Indah Septiyaning Wardani.
Konsumen melihat stok minyak goreng aneka merek tersedia di etalase pasar swalayan Karanganyar pada Kamis (17/3/2022)/ Solopos.com-Indah Septiyaning Wardani.

Bisnis.com, JAKARTA – Kader PDI Perjuangan mempertanyakan peran dua menteri dari partai Golkar, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, setelah Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak sawit dan turunannya, tidak pernah muncul memberikan penjelasan ke publik.

Demikian juga dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang tidak muncul memberikan keterangan soal simpang siur pelarangan ekspor produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengatakan Airlangga dan menteri terkait seharusnya memberikan informasi tentang kebijakan lanjutan yang diambil pemerintah setelah pernyataan Presiden Jokowi soal pelarangan ekspor CPO dan turunannya.

“Ini Pak Menko [Airlangga], Kemenperin [Agus], dan Kemendag [Lutfi] pada ke mana? Mereka kan pelaksana tekhnis yang harus bertanggung jawab,” katanya kepada wartawan, Selasa (26/4/2022).

Menurutnya, Airlangga atau menteri yang ditugaskan harus mulai melakukan komunikasi publik tentang masa depan industri sawit sehingga tidak muncul kekacauan di lapangan.

Dia berpendapat petani kecil ingin tahu sampai kapan mereka 'dikorbankan' dalam kebijakan tersebut. Demikian juga pelaku industri sawit dari skala kecil dan besar ingin mengetahui sampai kapan pelarangan ekspor produk CPO dan turunannya itu.

Deddy mengklaim, dari laporan yang diterima, ketidakjelasan kebijakan ini sangat merugikan petani. Pasalnya, buah sawit produksi petani mulai ditolak oleh pabrik kelapa sawit (PKS) karena terbatasnya kapasitas penampungan.

Sementara itu, sambungnya, petani menderita kerugian karena harga tandan buah segar (TBS) yang merosot tajam, sehingga tidak mampu menutup biaya produksi mereka.

Sementara itu,  pengusaha besar yang usahanya terintegrasi dari kebun, PKS, pabrik minyak goreng, hingga distribusi tidak mengalami kerugian yang berarti.

“Saya khawatir sebab petani sudah mulai menjerit. Apabila harga terus jatuh maka kemampuan mereka membeli pupuk juga hilang. Jika itu terjadi maka bisa dipastikan produktivitas sawit petani akan turun drastis tahun depan, sebab sawit sangat sensitif terhadap pemupukan,” jelasnya.

Deddy menyarankan agar pemerintah segera mengatur kebijakan tata niaga yang baru. Mulai dari penetapan harga TBS, harga CPO, hingga harga minyak goreng curah dan kemasan.

Dia pun mengusulkan agar pemerintah kembali menetapkan kewajiban pasok pasar dalam negeri (domestik market obligation/DMO) minyak goreng curah dan kemasan dengan mengatur rujukan harga keekonomian (DPO) atau harga eceran tetap (HET).

“Persoalan menentukan harga itu adalah persoalan hulu yang harus dibereskan terlebih dahulu. Komponen pembentuk harga TBS, CPO, dan minyak goreng harus dirumuskan secara tepat dan benar,” terangnya.

Penugasan BUMN dan BUMD

Pemerintah, sambungnya, bisa saja menugaskan BUMN atau BUMD untuk menyerap buah sawit petani dan pengusaha kecil untuk diolah menjadi minyak goreng curah dan kemasan.

Pemerintah bersama BUMN dan BUMD bisa membangun pabrik minyak goreng di sentra-sentra perkebunan sawit rakyat sekaligus melakukan melakukan proses distribusi bersama dengan Bulog.

“Harap diingat, produksi sawit rakyat dan kebun skala kecil hingga sedang itu jumlahnya mencapai sekitar 30 persen dari total produksi nasional. Hal ini akan memberikan kepastian di tingkat petani dan usaha kecil,” ungkapnya.

Selain itu, pemerintah perlu membangun storage atau tangki penyimpanan cadangan nasional minyak goreng untuk stabilisasi harga.

Adapun untuk pengusaha  besar, Deddy menilai pemerintah bisa mempersilahkan untuk menjual produksinya untuk keperluan biofuel atau ekspor dengan pengenaan pungutan ekspor (levy) yang tinggi.

Oleh karena itu, tambahnya, Menko Bidang Perekonomian harus bergerak cepat dan dalam waktu singkat untuk menjelaskan kebijakan yang akan ditempuh setelah pelarangan ekspor CPO dan turunannya.

“Saat ini semua menunggu terutama petani sawit kecil dan bahkan konsumen diseluruh dunia. Kalau berlarut-larut dan tidak ada kejelasan dalam sebulan ini, saya menganggap Menko gagal total dan harus dievaluasi bersama semua menteri di bawah koordinasinya,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper