Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi dan Kutukan 'Perpanjangan' Jabatan Presiden

Sejarah mencatat sekuat apapun suatu rezim, jika terlalu lama berkuasa pasti akan digilas dan dikubur oleh waktu.
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA -- Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan penundaan pemilu menggelinding seperti bola liar. Ada pro dan kontra. 

Sejatinya, pro kontra tentang wacana jabatan presiden tiga periode wajar. Apalagi dalam negara demokrasi. Semua pendapat sama dan dijamin oleh konstitusi. Soal mana yang benar dan salah itu perkara lain.

Meski demikian, wacana perpanjangan masa jabatan presiden atawa penundaan pemilu adalah fenomena yang menarik dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca reformasi.

Perlu diingat bahwa sejak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung sekitar 24 tahun lalu, hampir semua elemen politik telah menyepakati bahwa jabatan presiden cukup dua periode. Tidak lebih.

Pembatasan masa jabatan dilakukan karena kekuasaan yang terlalu lama cenderung absolut, tak terbatas dan berpotensi disalahgunakan oleh elite penguasa dan kroninya.  

Kasus Sukarno yang tumbang meski telah dideklarasikan sebagai presiden seumur hidup atau Suharto yang dipaksa lengser oleh gelombang demokratisasi seharusnya menjadi tetenger bagi elite-elite yang sedang bergerilya demi Jokowi tiga periode.

Runtuhnya kekuasaan Sukarno dan Suharto membuktikan bahwa kekuasaan tidak ada yang langgeng. Kekuasaan harus dibatasi dan dikembalikan sesuai amanat konstitusi. Apalagi, sejarah telah membuktikan bahwa sekuat apapun suatu rezim, jika terlalu lama berkuasa akan digilas dan dikubur oleh waktu.

Sukarno, misalnya, siapa yang membayangkan penguasa Orde Lama, sang penyambung lidah rakyat dan pemimpin besar revolusi, begitu mudah lengser keprabon. Padahal sampai pada paruh dekade 1960-an, Sukarno dalah tokoh sentral, posisi politiknya masih sangat kuat. Dia memiliki basis akar rumput yang kokoh. Sukarno juga dikelilingi oleh politisi dan elite militer yang loyal.

Sayangnya, saat terpojok karena imbas tragedi 30 September 1965, Sukarno sama sekali tidak menggunakan potensi politik dan militernya untuk menggebuk Suharto Cs. Dia lebih memilih mengalah dibanding mengobarkan perang saudara. Kekuasaannya kemudian hilang dalam sekejap.

Sementara Suharto, sejak kemunculannya jelas dia bukan sosok yang mudah terombang-ambing. Dia jenderal militer yang konon kenyang dalam beberapa palagan. Kekuasaan Suharto juga didukung oleh militer, politikus yang loyal, serta para pemikir yang moncer.

Kombinasi antara loyalis militer, politikus, dan ilmu pengetahuan (khususnya ekonomi), menjadikan kondisi politik dan ekonomi relatif cukup stabil. Stabilitas tersebut mengantarkan Suharto untuk memerintah lebih dari tiga dasawarsa.

Meski demikian, Suharto ternyata bukan seorang Superman. Sekuat apapun dia, toh akhirnya tumbang juga oleh gelombang demokratisasi. Kalau Sukarno dan Suharto yang begitu kuat saja tumbang, apalagi elite penguasa politik saat ini?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper