Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Seri Sejarah Tokoh: Soe Hok Gie vs Rosihan Anwar

Soe Hok Gie, sosok aktivis yang paling menonjol pada dekade 1960-an. Kristis, tanpa pandang bulu dan keras kepala. Jangankan lawan, kawan sekalipun kalau engga sejalan ya diserang. Termasuk Rosihan Anwar.
Soe Hok Gie/diambil dari Buku Soe Hok Gie Sekali Lagi
Soe Hok Gie/diambil dari Buku Soe Hok Gie Sekali Lagi

Bisnis.com, JAKARTA -- Pasang surut hubungan Gie & Rosihan bermula dari sebuah pertemuan di klub diskusi pada awal tahun 1965. Pertemuan itu dihadiri oleh aktivis kawakan seperti Soe Hok Gie, P.K Ojong, Ong Hok Ham, Frans Peransi, dan Zainal Zakse. Sementara Rosihan Anwar adalah pemateri diskusi.

Topik moderinisasi menjadi diskusi utama waktu itu. Sebagian peserta menganggap topik ini sangat relevan. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi negara pada medio ’60-an yang sangat morat-marit. Hiperinflasi, hubungan panas kubu komunis dan militer, serta kekuasaan Sukarno yang absolutis, mengancam kelangsungan demokrasi.

“Tiap saat kekuasaan Sukarno bisa ambruk, maka melalui studies club ini, kami sedang memikirkan alternatif jika semua itu terjadi”, tulis Rosihan dalam Petite Histoire Indonesia jilid empat.

Rosihan dalam diskusi itu bertugas memberikan pengantar. Ia memantik diskusi dengan mengutip kalimat dari buku India and The West karangan Barbara Ward.

Modernitas India rupanya menarik perhatiannya. Seperti di India, kata Rosihan, modernitas menjadi alternatif untuk meningkatkan standar hidup dan menyadarkan rakyat dari retorika revolusi Orde Lama.

Sepanjang diskusi, Gie tampak menonjol. Berbagai materi yang dipaparkan Rosihan seringkali ia tentang dan perdebatkan. Maklum sebagai ‘The Angry Young Men‘, Gie adalah salah satu aktivis anti-Soekarno yang terkenal tak pandang bulu. Siapa saja lawannya, gua sikat!

Dominasi Gie dalam diskusi itu membuat peserta diskusi lainnya tak banyak bicara. Rosihan menulis, P.K Ojong lebih berperan sebagai pelerai jika diskusi menghangat. Peransi hanya menyimak. Zakse sukar mengutarakan pikiranya. Sedangkan Ong Hok Ham memilih diam. Sementara, Rosihan adalah lawan bagi Gie. Sama seperti Gie, dia acapkali memberi komentar pedas dan sinis terhadap argumentasi Gie. Perang pun dimulai.

Singkat kata, diskusi usai. Dua-duanya baper. Perdebatan di klub diskusi itu mengubah pandangan Gie kepada Rosihan. Dia mulai tak simpati kepada tokoh pers nasional tersebut. Rasa tidak simpati Gie ini kemudian dituangkan dalam catatan hariannya yang dibukukan dalam judul Catatan Seorang Demonstran.

Dalam buku itu, Gie menggambarkan Rosihan Anwar sebagai sosok arogan dan dingin. Dia juga menyebut Rosihan sebagai orang tua yang sombong. Sifat ini dia gambarkan sama seperti anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) lainya.

Rosihan semula tak tahu menahu, perubahan sikap Gie terhadap dirinya. Dia baru ngeh, ketika kejadian yang ia istilahkan sebagai “Monas Accident“ terjadi. Monas Accident, kata Rosihan, bermula ketika Gie membuang muka dan tidak menyapanya saat berpapasan di sekitar Monas.

Sontak saja, kejadian ini agaknya membuat perang dingin antara kedua tokoh ini. Jika Gie menuangkannya dalam catatan harian. Rosihan, juga menulis kejengkelannya dalam sebuah artikel yang diterbitkan 40 tahun kemudian.

Dalam Petite Histoire Indonesia jilid 3, Rosihan menulis agak sinis. Dia mengkritik fenomena Gie yang kembali booming di awal abad ke-21. Saat itu nama Gie memang kembali mencuat dan digandrungi generasi muda. Apalagi ketika sosoknya diangkat ke layar lebar dalam film ‘Gie’. Salah satu pemerannya adalah Nicholas Saputra.

Namun lain publik, lainpula bagi Rosihan. Gie bukan sosok yang tak laik jadi idola. Gie adalah orang yang jauh dari penggambaran dalam film tersebut. “Bagi saya, Gie adalah orang yang tidak tahu berterima kasih,” tulis Rosihan soal sosok Gie.

Rosihan sangat jengkel. Dulu dia berusaha menjadi pengantar diskusi yang baik di studiesclub. Dia duduk setara dengan Gie dan kawan-kawannya, bahkan mendengarkan pertanyaan dan menjawab. Tetapi begitu diskusi selesai, dia justru disebut arogan &jadi bahan cercaan oleh Gie.

Walau begitu, kelak Gie agaknya tak seberuntung Rosihan yang sempat menikmati hidup hingga era reformasi. Seperti banyak diketahui, Gie meninggal di puncak Mahameru, justru setelah cita-citanya menumbangkan Sukarno terkabul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper